9.6.08

Tanam Mangrove di Kuta Bali?

Semarang - KeSEMaTBLOG. Bulan lalu, beberapa anggota organisasi lingkungan di Semarang mengunjungi Kantor KeSEMaT, untuk meminta partisipasi kami dalam program penghijauan pantai di Semarang. Pada saat berdiskusi tentang konsep acara dan dimana sebaiknya lokasi penanaman mangrove dilakukan, salah satu rekan kami dari organisasi lingkungan tersebut, mengutarakan sebuah pertanyaan unik nan menggelitik. Dia berkata, “KeSEMaT, apakah mangrove bisa ditanam di Kuta Bali?”

Sedikit mengernyitkan dahi, kami berusaha menjawab pertanyaan itu dengan bijak. Menjawab dengan konsep slow but sure, pelan namun pasti, itulah yang kemudian kami lakukan. Maka, sebuah kuliah singkat berdurasi dua jam, kami berikan kepada mereka. Kami senang, bahwa ternyata rekan-rekan kami bersedia mendengarkan kuliah mangrove tanpa SKS, itu. Apalagi, setelah Kuliah Mangrove Singkat (KMS) kami selesai, mereka menyatakan rasa kepuasannya. Semakin bahagia pula-lah hati kami. Penasaran dengan isi KMS kami? Berikut ini adalah intisarinya.

Filosofi mananam mangrove

Kami memulainya dengan menjelaskan sebuah filosofi menanam mangrove. Kiranya, program-program penanaman mangrove yang kini mulai banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, lebih diarahkan kepada sebuah usaha untuk menyelamatkan suatu area yang telah “terjamah” oleh abrasi. Jadi, intinya, umumnya bibit-bibit mangrove akan ditanam di lokasi yang telah mengalami degradasi kualitas lingkungan. Untuk itulah, dalam melakukan program penanaman mangrove, kita tak bisa sembarangan menanami suatu area gundul dengan mangrove, sebelum melakukan survey lokasi terabrasi dengan benar.

Jadi, kita harus benar-benar memastikan bahwa lokasi setempat memang mengalami penurunan kualitas lingkungan, barulah kita bisa menanam bibit mangrove kita ke area tersebut. Jika tidak mengalami degradasi lahan, maka sudah pasti kita harus mencari ke lokasi lainnya. Sebagai tambahan, tak hanya ditanam di lahan yang terabrasi saja, mangrove biasanya juga ditanam di daerah pertambakan sebagai bentuk konsep penanaman mangrove secara silvovisery, yaitu konsep penggabungan antara tambak dengan mangrove dengan tujuan untuk melipatgandakan hasil tambak. Konsep ini hampir serupa dengan pola Mina Tani di daerah persawahan .

Sebelum melangkah kepada teknis penanaman, kami memberikan penjelasan bahwa menanam mangrove juga tak bisa sembarangan di setiap tempat, layaknya menanam tumbuhan darat. Kepastian kepemilikan tanah, haruslah juga mendapatkan perhatian lebih. Mengapa demikian? Karena tanah pesisir di Indonesia ini, rata-rata sudah berpindah kepemilikannya bukan menjadi hak milik masyarakat pesisir lagi, melainkan pihak ketiga yang adalah pengusaha tambak.

Parahnya lagi, biasanya pengusaha tambak juga telah menjual beberapa tanah tambaknya yang tak produktif lagi kepada para pengembang perumahan dan pariwisata pesisir. Padahal, di lokasi inilah, biasanya ditemukan titik-titik abrasi-parah yang seharusnya harus segera kita tangani. Di titik-titik ini pulalah, biasanya masyarakat umum yang tergerak hatinya untuk melakukan upaya konservasi mangrove, mengusulkan aksi-aksi inisiasi penanaman mangrovenya.

Sayangnya, karena tanahnya telah menjadi milik para pengembang, maka begitu ada program penanaman mangrove (tanpa ijin dari pengembang) ke tanah itu, maka saat itu juga, bibit-bibit mangrove yang telah ditanam akan dilibas dengan proyek reklamasi, sehingga mangrove akan mati sia-sia.

Kesimpulannya, mangrove tak bisa ditanam di sembarang tempat. Sebelum melakukan penanaman, kita harus memastikan status tanahnya untuk menghindari penebangan secara sepihak dari sang pemilik tanah.

Selanjutnya, untuk mengatasi penebangan-penebangan mangrove secara sepihak ini, selain meminta ijin kepada pemilik tanah, kita juga sewajibnya memberitahukan program penanaman mangrove kita kepada Pemerintah Daerah (PEMDA) setempat, agar “proyek mangrove” kita diketahui oleh sang empunya kebijakan. Dengan pemberitahuan ini, maka kita berharap bahwa area mangrove kita akan direkomendasikan sebagai sebuah area konservasi karena biasanya pengelolaan wilayah pesisir memang dikelola oleh PEMDA setempat.

Setelah mendapatkan jaminan sebagai area konservasi, maka amanlah lokasi penanaman kita dari penebangan karena pasti akan dilindungi oleh PEMDA dengan berbagai aturan dan kebijakan yang biasanya dituangkan dalam Peraturan Daerah (PERDA). Untuk mangrove, biasanya akan dikeluarkan PERDA tentang tata aturan pengelolaan kawasan pesisir setempat, yang salah satu pasalnya bisa jadi adalah sebuah pelarangan dan hukuman penjara bagi siapa saja yang melakukan penebangan mangrove di area konservasi kita. Nah, dengan demikian, amanlah bibit-bibit mangrove kita dari ancaman penebangan-penebangan sepihak yang tak bertanggung jawab.

Hal seperti ini, sangat perlu untuk kita lakukan demi menjaga konsistensi dan kontinyuitas pekerjaan mangrove kita. Bekerja dengan mangrove, ibaratnya bekerja dengan sebuah rutinitas dan kontinyuitas. Pekerjaan yang tak kontinyu, satu hari penanaman lalu satu abad kemudian kita menghilang, adalah sia-sia. Lebih lanjut lagi, sebuah program yang hanya bersifat seremonial dan hit and run belaka, adalah haram. Hari ini dilakukan, lalu hari berikutnya kita kabur dan tak mau lagi mengurusi mangrove-mangrove kita, adalah sikap bodoh nan kekanak-kanakan yang akan semakin membuat daerah pesisir kita menderita.

Mangrove tak bisa ditanam di Kuta (?)
Setelah menjelaskan panjang lebar tentang filosofi mangrove, barulah kami secara perlahan membahas tentang teknis penanaman mangrove. Teknis di sini bukan berarti tata cara penanaman mangrove melainkan lebih kepada menjawab pertanyaan tentang bisakah mangrove ditanam di Kuta Bali.

Mangrove, sebenarnya bisa saja ditanam di mana saja mulai dari daerah pegunungan sampai dengan pesisir berkarang, bisa saja mangrove hidup. Bahkan, di Kantor KeSEMaT, propagul Rhizophora apiculata yang hanya diberikan air mineral tanpa tanah, bisa hidup dengan sepasang daun mungilnya di usianya yang ke-tiga bulan. Hanya masalahnya sekarang adalah, apakah benar mangrove ini bisa tetap hidup di pegunungan dan di air mineral, yang notabene bukanlah merupakan habitat aslinya, dalam jangka waktu yang lama alias everlasting? Kiranya, inilah yang perlu diperhatikan dan dicermati.

Kemudian, yang dimaksudkan dengan habitat asli di sini adalah sebuah tempat tinggal dimana mangrove bisa hidup dan mengembangkan dirinya secara maksimal dan bukan habitat yang hanya membuat dirinya berkembang setengah-setengah saja lalu “meredup” sehingga beberapa tahun kemudian mati tak bernyawa.

Nyatanya, di lokasi yang memiliki (1) iklim tropis dan subtropis, (2) berada pada daerah 32° LU – 38° LS, (3) penyinaran matahari penuh, (4) suhu diatas 22°C, (5) curah hujan tinggi (2500 – 3000 mm/th), (6) di daerah terlindung, (7) lalu di dataran lumpur/mud-flat luas dan jauh, (8) berlokasi di daerah delta, dan (9) memiliki perbedaan pasang tertinggi dan surut terendah yang jauh-lah, mangrove mampu tumbuh dengan sempurna. Lalu, bagaimana dengan di tempat lainnya? Tetap bisa hidup, namun tak berapa lama kemudian, mangrove akan segera menjadi almarhum/almarhumah.

Dalam koridor seperti inilah, akhirnya kami menjawab pertanyaan unik di atas. Jadi, apabila mangrove mau ditanam di Kuta, harus diselidiki dulu apakah pantai wisata internasional tersebut memiliki kesembilan syarat tersebut. Sayangnya, untuk poin ke 6, 7, 8 dan 9, Kuta tak memilikinya. Dengan demikian terjawablah sudah, bahwa Kuta memang tak selayaknya untuk ditanami mangrove, pun Avicennia spp, sekalipun.

Selanjutnya, tak representatifnya Kuta sebagai lokasi penanaman mangrove, juga dikarenakan tipe pantainya yang berpasir dan bukan berlumpur. Seperti diketahui, kondisi dan jenis pantai di Indonesia bisa dibedakan menjadi empat macam yaitu (1) pantai berpasir, (2) pantai berlumpur, (3) pantai berawa, dan (4) pantai berbatu. Nah, berdasarkan klasifikasi pantai ini, tumbuhan mangrove akan hidup lebih maksimal di pantai nomor 2. Karena untuk pantai berpasir seperti Kuta, tanaman yang biasanya tumbuh, umumnya adalah jenis Kelapa (Cocos nucifera), Cemara Laut (Casuarina equisetifolia), Waru Laut (Hibiscus tiliaceus), dan Ketapang (Terminalia catappa) (Sugiarto, 1996).

Namun demikian, kiranya kita tetap saja memaksakan mangrove ditanam di Kuta, mungkin bisa saja hidup (walaupun tak maksimal) apabila kita menggunakan Avicennia spp yang memang suka sekali dengan substrat berpasir. Tapi, hal ini kemudian tak akan membuat permasalahan selesai, sebaliknya kita juga akan berhadapan dengan PEMDA setempat yang pastilah telah mengelola pantai berpasir ini sebagai kawasan pariwisata. Tentunya, PEMDA telah memiliki konsep pengelolaan lingkungan di Kuta dan juga tak akan mengiyakan apabila Avicennia kita tanam di sana.

Sebagai tambahan, masih menurut Sugiarto (1996), pantai berpasir biasanya dijadikan pariwisata pantai karena keindahan alamnya. Kawasan pantai yang sudah berkembang misalnya adalah Sanur dan Kuta (Bali), Pantai Pangandaran, Carita, dan Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Parang Tritis (Yogyakarta), Pantai Kepulauan Seribu (Jakarta) dan Pantai Pasir Putih (Jawa Timur dan Lampung).

Untuk Semarang sendiri, mulai saat ini Pantai Wisata Maron, juga mulai dikembangkan ke arah itu. Umumnya, pantai-pantai berpasir ini sudah terkelola dengan baik, jadi bukanlah merupakan pantai terabrasi sesuai anggapan rekan kami dari organisasi lingkungan di atas.

Sebagai pelengkap, untuk mangrove sendiri, apabila kita ingin melakukan program penanaman, sebaiknya kita mencari tipe pantai berlumpur yang memang merupakan habitat mangrove yang asli. Lihatlah foto di atas pada saat KeSEMaTERS melakukan penanaman mangrove di sana, salah satu contoh pantai berlumpur yang mengalami abrasi dan degradasi lahan adalah di Desa Pasar Banggi Rembang. Selama kurun waktu 30 tahun, secara terus menerus tanpa henti, masyarakat di sana telah melakukan upaya rehabilitasi mangrove secara swadaya, dan berhasil! Keberhasilan ini tak lepas dari kajian mendalam yang dilakukan oleh mereka yang kemudian digabungkan dengan tata cara pembibitan dan penanaman yang benar dan tak asal-asalan demi sebuah seremonial, saja.

Akhirnya, jangan asal mengadakan program-program penanaman mangrove! Status tanah, survey lokasi, filosofi, tujuan penanaman, aspek birokrasi, latar belakang dan aspek teknis lainnya harus benar-benar dikaji dengan cermat dan teliti sehingga akhirnya bisa didapatkan kelulushidupan mangrove yang maksimal demi kelestarian ekosistem ini di masa mendatang. Mari lestarikan mangrove kita. SEKARANG!

3 comments:

  1. hallo kesemat, di Jambi juga banyak rehab hutan mangrove tapi banyak rusak,penyebab al: luasan areal tak jelas,dirambah masyarakat dan banyaknya aktivitas baru yang muncul ( pemeliharaan udang ), tapi kami juga ada lokasi hutan mangrove pada lokasi lain yang patut jadi contoh dan dijadikan tempat tamasya pantai ! salam kenal nih ! dan lestarikan hutan

    ReplyDelete
  2. iya tu klau mo mengadakan program atau sejenisnya emang harus dikaji dulu seperti apa nantinya.... sukses ya buat kesemat.....

    ReplyDelete
  3. iya to kalau mo mengadakan program atau sejenisnya ya mesti dikaji dulu seperti apa nantinya agar tujuannya itu tercapai, hehehe..... sukses ya

    ReplyDelete