9.5.08

Semarang Butuh Mangrove Education Center of Semarang

Semarang - KeSEMaTBLOG. Judul ini benar adanya! Sebuah pilot project kawasan konservasi mangrove yang bisa diberi nama Mangrove Education Center of Semarang (MECoS) alias Pusat Pendidikan Mangrove Semarang (P2MS) harus mulai “diresmikan” keberadaannya oleh pemerintah provinsi, ini.

Wacana seperti ini sengaja digulirkan oleh KeSEMaT, mengingat kawasan mangrove di kota ini , memang sudah benar-benar dalam tahap degradasi tingkat tinggi. Tugu, Mangkang, Trimulyo, Genuk dan daerah pesisir lainnya, telah kehilangan sebagian besar ekosistem mangrovenya karena dikonversi menjadi perumahan, pertambakan, pariwisata dan usaha perubahan lahan lainnya. Untuk itu, pembangunan MECoS, adalah sangat mendesak, very very urgent, dan tak bisa ditunda lagi.

Terlebih lagi, jargon Semarang yang terlanjur digulirkan sebagai kota dagang dan jasa, sungguh sangat menyesakkan bagi kehidupan mangrove di sepanjang pesisirnya. Apa pasal? Karena proses reklamasi pantai tentu saja akan terus menerus terjadi. Tidak hanya sekali bahkan akan dilakukan berulang-ulang kali demi mewujudkan pelayanan publik yang memuaskan. Kalau saja tidak segera dicegah, kiranya kerusakan mangrove yang bertubi-tubi, akan menimpa ekosistem mangrove di Semarang. Tak akan ada habisnya, di sepanjang tahun ini dan tahun-tahun sesudahnya.

Penetapan Semarang sebagai sebuah kota dagang dan jasa, kiranya sah-sah, saja. Namun demikian, pembangunan layanan publik demi mewujudkan cita-cita tersebut, tak sepantasnya apabila dilakukan dengan cara yang destruktif dan tak konservatif. Asalkan berimbang, sebenarnya alam tak juga akan menunut banyak kepada manusia. Sayangnya, pembangunan yang dilakukan manusia, seringkali kebablasan sehingga merusak keseimbangan alam pesisir, kita. Sewajibnyalah, apabila dalam mewujudkan jargon tersebut, harus dibarengi dengan adanya kesepakatan bersama dari semua stake holder yang ada di Semarang, untuk mulai bisa membangun kembali kawasan pesisirnya, secara lebih ramah dan lebih bijaksana lagi.

Survei terbaru yang telah dilakukan oleh KeSEMaT, pada tanggal 8 Mei 2008, di pesisir pantai Kelurahan Trimulyo Kecamatan Genuk (lebih dikenal dengan Kawasan Industri Terboyo), menunjukkan bahwa tak ada perbedaan lagi antara pertambakan penduduk sekitar dengan lautan lepas (lihat foto di atas). Daerah pertambakan telah hilang ditelan lautan, sehingga puluhan tambak sudah dalam status tak produktif lagi. Lalu, bagaimana dengan kepemilikan tanahnya? Ternyata, telah pula jatuh kepada pihak ketiga. Sungguh, apabila pihak ketiga ini kemudian mengkonversinya menjadi peruntukan lainnya, tak tahu lagi berapa banyak lahan pesisir Semarang yang akan menderita karena degradasi lahan.

Seperti halnya di Trimulyo, menurut KOMPAS (2004) di pesisir Kecamatan Tugu Semarang, kawasannya tidak jelas lagi antara tambak dan laut. Banyak tambak ditinggalkan dan terbengkalai. Di sepanjang pesisir Kecamatan Tugu, sebagian besar mangrove menggerombol di Pulau Tirang. Namun, di kawasan-kawasan lain, mangrove tumbuh terpencar-pencar. Masih menurut KOMPAS (2004), di Kota Semarang, sedikitnya 300 hektar tambak telah hilang, satu kampung tenggelam, meski masih ada enam kepala keluarga yang bertahan, dan dua kampung lainnya saat ini nyaris tenggelam. Sungguh, ini adalah berita yang sangat memilukan, sungguh menyedihkan!

Selanjutnya, dalam sebuah diskusi bersama yang telah dilakukan oleh KeSEMaT dengan beberapa mitra kerjanya di Kantor KeSEMaT Semarang seperti Indonesia International Work Camp (IIWC), Friends of Earth (FoE) Jepang dan Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI), mengemuka sebuah kesepakatan bersama untuk mulai melakukan beberapa aksi penyelamatan mangrove di pusat kegiatan masyarakat Jawa Tengah, ini. Semarang sebagai sebuah ibukota provinsi, sudah selayaknya menjadi sebuah barometer bagi timbulnya inisiasi pembangunan kawasan pesisir yang baik, untuk memberikan contoh bagi daerah-daerah di sekitarnya, dan bukan malah sebaliknya. Namun sayang, sampai dengan sekarang, Semarang belum mampu memfungsikan dirinya sebagai sebuah kota percontohan konservasi mangrove yang baik. Semarang kalah jauh dengan daerah-daerah sekitarnya, yang ternyata telah memiliki pilot project restorasi dan rehabilitasi mangrove-nya sendiri-sendiri.

Demak, Rembang dan Jepara, tiga buah kabupaten yang berada di sebelah timur Semarang, telah memiliki Mangrove Education Center (MEC)-nya, sendiri. Walaupun, belum tertata rapi dari seperti Mangrove Information Center (MIC) di Bali, namun di ketiga daerah ini, inisiasi yang telah dilakukan oleh masyarakatnya, patut diacungi jempol.

Rembang memiliki Desa Pasar Banggi dan Bapak Suyadi yang merupakan seorang perintis lingkungan sekaligus sebagai nominasi penerima KALPATARU 2006, atas usaha besarnya merehabilitasi kawasan mangrove gundul menjadi lebat kembali sejak tahun 60-an (sampai dengan sekarang) di pesisir pantai Rembang. Pasar Banggi yang dulunya adalah pesisir gersang tanpa mangrove, sekarang berhasil dibenahi oleh masyarakatnya sendiri (dengan usahanya sendiri), menjadi sebuah hutan mangrove lestari yang mampu melindungi tambak-tambak garam dan ikan mereka dari ancaman gelombang laut. Tak hanya itu, hutan mangrove yang telah pulih ini, juga berperan penting sebagai sebuah MEC bagi masyarakat Rembang dan sekitarnya. Tak hanya itu saja, bisnis penjualan bibit mangrove pun, akhirnya bisa dijalankan dengan manajemen yang baik, sehingga mampu menyejahterakan masyarakat di sana.

Kota kedua yaitu Demak, sebuah kota di perbatasan Semarang, juga memiliki kelompok petani tambak di Morodadi, yang memenangkan lomba Intensifikasi Pertambakan (INTAM) tingkat Nasional, di jaman pemerintahan Gus Dur. Sebuah kawasan mangrove yang lebat, tertanam baik sekali di pematang-pematang tambak. Mangrove di Morodadi, telah mampu memaksimalkan perannya sebagai penyuplai bahan organik dan penyeimbang habitat flora dan fauna yang hidup di sekitarnya. Selebihnya, sebuah pola silvofisery, sangat baik dicontohkan oleh petambak di Demak, ini.

Selanjutnya, tak ketinggalan di Teluk Awur, Jepara. Satu kawasan mangrove berlahan tak lebih dari satu hektar, yang di tahun 2001 gersang tanpa mangrove, di tahun 2008 ini telah berhasil direstorasi oleh kelompok mahasiswa peduli mangrove bernama KeSEMaT, menjadi sebuah Pusat Pendidikan Mangrove (P2M), yang sangat berguna bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove tak hanya tumbuh dan pulih kembali, bahkan lebatnya mangrove di P2M telah banyak berfungsi sebagai pusat penelitian mangrove mahasiswa UNDIP sekaligus pusat pendidikan dan kampanye mangrove KeSEMaT ke masyarakat Jepara dan sekitarnya. Berkat inisiasi yang luar biasa ditunjukkan oleh KeSEMaT ini, Gubernur Jawa Tengah pun, menganugerahi KeSEMaT sebagai peraih ADHI BAKTI 2007 sebagai Insan Peduli Pesisir.

Kini, tinggal satu daerah lagi yang belum menunjukkan inisiasinya, yaitu Semarang! Padahal, daerah ini diklaim sebagai pusat perekonomian Jawa Tengah yang notabene ditengarai memiliki masyarakat yang “lebih terdidik” apabila dibandingkan dengan ketiga “daerah pinggiran” di sekitarnya. Namun sayang, masyarakat di sini, ternyata tak sedikitpun menunjukkan jiwa terdidik tersebut. Mengapa? Karena kepedulian mereka terhadap ekosistem mangrove di pesisir, ternyata sangat-sangat kecil. Lalu, sampai kapan masyarakat Semarang bisa lebih memperhatikan nasib pesisirnya yang menderita? Entahlah.

Akhirnya, mungkinkah dengan kehadiran sebuah MECoS, yaitu sebuah hutan mangrove buatan yang berisi beragam spesies mangrove plus fasilitas-fasilitas pendukungnya seperti mangrove trail, bedeng persemaian bibit mangrove, diorama ekosistem mangrove, perpustakaan mangrove, dan berbagai gedung sebagai pusat informasi dan pendidikan tentang ekosistem mangrove, akan mampu memunculkan dan menumbuhkan sikap kepedulian masyarakat Semarang terhadap mangrove di pesisir pantai mereka? Mari kita berdoa.

No comments:

Post a Comment