14.5.08

Andaikan Ada Perahu Kecil di Mangrove Ini

Semarang - KeSEMaTBLOG. Lihatlah foto di samping ini, inilah kami, para KeSEMaTERS. Di sela-sela padatnya acara Mangrove Training 2008: Pelatihan Penelitian Struktur Komunitas Mangrove, kami menyempatkan beristirahat sebentar, sembari bergelayutan di akar-akar mangrove dan mengabadikan indahnya hutan mangrove di Desa Pasar Banggi Rembang, yang dikelola oleh Bapak Suyadi, Nominasi KALPATARU 2006.

Tak terlukiskan betapa indahnya hutan mangrove di daerah ini. Lihatlah, pepohonan mangrove di sini, telah menjelma menjadi hutan mangrove lebat, penuh dengan gelantungan akar-akar mangrove, ke sana ke mari. Beberapa spesies seperti Sonneratia sp, Avicennia sp, Rhizophora stylosa, Bruguiera sp, dan lain-lain, nampak pula menghiasinya. Walaupun spesiesnya tak terlalu bervariasi layaknya di Jepara, setidaknya ukurannya yang “besar-besar” telah menginspirasi kami untuk bisa mewujudkan hutan mangrove seperti ini, di Teluk Awur Jepara. Kami sempat berpikir, andaikan saja, hutan mangrove di seluruh pesisir Indonesia seperti ini adanya, betapa seimbangnya kehidupan alam pesisir di pantai kita.

Hutan Mangrove Rembang (HMR) ini, sejatinya adalah hutan mangrove buatan yang mulai “dibuat” oleh Pak Yadi dan kelompok tani mangrovenya di tahun 60-an. Menurut Pak Yadi, kawasan pesisir di Pasar Banggi awalnya adalah pesisir gundul tanpa mangrove. Laut, hampir saja menelan tambak-tambak garam mereka. Nah, untuk melindungi tambak garam itu, akhirnya mereka berinisiatif untuk mulai menanam mangrove di sepanjang pesisirnya demi melindungi tambak mereka dari gerusan air laut. Dan mereka berhasil!

Kini, mangrove tersebar luas di sepanjang pesisir Rembang. Sebenarnya, kami ingin mengunjungi semuanya. Namun sayang, karena keterbatasan waktu dan tenaga kami, kami hanya bisa menyusuri beberapa, saja. Dengan kaki telanjang tanpa alas, kami sempat ber-outbound ria memasuki rimbunnya dedaunan dan akar nafas Rhizophora yang ternyata tak mudah untuk ditembusi. Peraturannya adalah, kaki kami tak boleh menyentuh air rawa, melainkan harus terus menerus berada di akar-akar mangrove, dari hulu hingga menuju ke laut. Siapa yang tercepat sampai di laut, dialah pemenangnya. Permainan ini terbukti menarik pun sangat menantang nyali.

Sesaat setelah sampai di laut, saat kelelahan menyergap urat syaraf kami, kami sempat berpikir, andaikan saja ada perahu kecil di mangrove ini, perahu mungil yang bisa mengantar kami kembali ke hulu dan menyusuri titik-titik lain di HMR ini, tentunya akan semakin menyenangkan. Kami tak usah bersusah payah ber-outbound lagi, tinggal bersantai sembari menikmati keindahan rawa bakau.

Kalau sudah begini, kiranya perahu-perahu kecil, memang sangat diperlukan untuk mengembangkan ekosistem mangrove di HMR, ini. Tapi, tentu saja pengembangan ini, tak boleh menyakiti apalagi menurunkan kualitas ekosistemnya. Pengembangan yang bijaksana dan ramah lingkungan akan sangat diperlukan, sebaliknya pengembangan yang bisa menghancurkan mangrove sudah selayaknya dipetiemaskan.

Hutan mangrove tak indah
Sebagian ahli mangrove, ada yang berpendapat bahwa pemikiran untuk mengkomersilkan mangrove sebagai obyek wisata kurang begitu tepat karena mangrove sendiri sebenarnya tak memiliki banyak keindahan untuk bisa dilihat apalagi dikunjungi oleh masyarakat umum. Namun demikian, menurut kami, sah-sah saja mereka mengatakan demikian, toh sisi artististik sesuatu adalah subyektif. Apabila menurut mereka mangrove tak indah, tapi kalau menurut kami sebaliknya, maka begitu jualah adanya.

Selanjutnya, pemikiran bahwa mangrove adalah sarang penyakit sehingga tak layak untuk didekati, kiranya perlu juga diluruskan. Beberapa kasus Malaria yang sering ditemukan di mangrove bisa dijelaskan dengan cara yang berimbang. Memang, Anopheles berhabitat di mangrove, makanya setiap kali berkunjung ke rawa, lotion anti nyamuk wajib hukumnya, untuk selalu dioleskan ke seluruh tubuh kita, sebagai tindakan pencegahan. Selanjutnya, pembukaan lahan mangrove untuk melenyapkan Anopheles, justru membuat Malaria semakin menjadi. Apa pasal? Habitat Anopheles akan hilang sehingga mereka mencari habitat baru ke sekitar pemukiman manusia.

Kembali ke pariwisata mangrove, sebenarnya pemikiran mempariwisatakan mangrove adalah sebagai sebuah upaya untuk memperkenalkan dan mempopulerkan mangrove kepada manusia. Jikalau sudah kenal dan populer, maka rasa sayang dan cinta kita kepada mangrove, tak sulit lagi untuk ditumbuhkan. Dan, di saat rasa sayang dan cinta kita itu telah bersemi, maka ekosistem mangrove kita, tentu saja akan terus lestari. Lestarikan mangrove kita. Mulai dari sekarang!

No comments:

Post a Comment