29.5.08

Cerita Hilangnya Mangrove di Teluk Awur, Jepara

Semarang - KeSEMaTBLOG. Di akhir Mei ini, beberapa email dari masyarakat yang masuk ke KeSEMaTMAIL, menanyakan kepada kami tentang apakah KeSEMaT memiliki pengalaman kegagalan dalam melakukan upaya rehabilitasi mangrove di pesisir. Kalau ya, mereka ingin agar pengalaman ini dibagikan kepada mereka berikut tata cara pencegahannya dan sedikit pengetahuan mengapa hal itu bisa terjadi.

Kalau saja Anda jeli, sebenarnya KeSEMaTBLOG telah menampilkan beberapa cerita tentang ketidaksuksesan ini. Contohnya, artikel tentang matinya sekitar 100 buah Bayi-Bayi Mangrove (BBM) kami, pada saat kami mencoba teknik penanaman mangrove dengan metode kubangan (penanaman mangrove jenis Rhizophora di substrat berpasir dengan cara melubangi substrat pasir tersebut, yang kemudian diisi dengan substrat lumpur. Rhizophora kemudian ditanam di substrat lumpur, di dalam kubangan pasir) yang berakibat pada matinya semua BBM karena tertutup pasir.

Selanjutnya, artikel tentang program KeSEMaT Goes To Arboretum - KGTA (lihat foto di atas, nampak KeSEMaTERS berfoto di tengah-tengah ajir namun tak ada satupun BBM yang nampak hidup) yang bercerita tentang kematian hampir 60% BBM, di lokasi penanaman Mangrove REpLaNT (MR) 2005.

Kesimpulannya, memang tak hanya cerita sukses saja yang selalu menyertai pekerjaan kami di pesisir. Beberapa kali kegagalan dalam melakukan upaya restorasi mangrove di Teluk Awur Jepara, juga pernah kami alami. Dua buah lokasi di Arboretum Mangrove KeSEMaT (ARMaT) yang gagal kami rehabilitasi, adalah bukti ketidakberdayaan, kami.

Namun demikian, bukti kegagalan ini ternyata membawa efek positif. Apa pasal? Kami jadi bisa memberikan pola edukasi yang berimbang kepada masyarakat, organisasi dan institusi lainnya pada saat mereka berkunjung ke ARMaT sembari belajar mengenai tahap-tahap rehabilitasi mangrove di pesisir. Tak hanya cerita keberhasilan saja yang melulu kami informasikan. Berita duka kegagalan, juga kami bagikan kepada mereka.

Selanjutnya, kami juga bisa dengan lengkapnya menjelaskan kepada mereka tentang pengetahuan mengenai ekosistem mangrove, contoh restorasi mangrove yang berhasil dan yang tidak, berikut alasan mengapa hal itu bisa terjadi. ARMaT memang terbagi menjadi dua buah lokasi mangrove yang memiliki tingkat persentase hidup bibit mangrove yang berbeda, yaitu 100% (untuk yang berhasil) dan 40% (untuk yang gagal).

Penyebab gagalnya rehabilitasi mangrove di salah satu titik di ARMaT, sampai dengan sekarang masih menjadi kajian studi kami. Beberapa hipotesa yang bisa disampaikan antara lain adalah (1) ketidakcocokan substrat dengan bibit mangrove yang ditanam (2) tertutupnya saluran air sehingga menghalangi pola sirkulasi pasang surut (3) kesalahan tata cara penanaman dimana bibit mangrove tidak terikat ke ajir dengan sempurna (4) kondisi lokasi penanaman yang memang adalah ekosistem laguna dan tak seharusnya ditanami dengan BBM (5) musim kering yang berkepanjangan yang mengeringkan air di lokasi penanaman sehingga menyebabkan kematian BBM (6) mangrove berhabitat pada lokasi yang memiliki ketinggian dari permukaan laut yang berbeda, ketidaksesuaian bibit mangrove yang ditanam dengan ketinggian lokasi penanaman, diduga juga menjadi penyebabnya.

Untuk melakukan upaya pencegahan terhadap kegagalan penanaman, pada program MR 2008 yang akan dilaksanakan pada tanggal 18 - 20 Juli 2008 nanti, KeSEMaT pada tanggal 24 - 25 Mei 2008 telah melakukan beberapa tindakan pencegahan di lokasi penanaman, seperti (1) pembuatan saluran air untuk memperlancar sirkulasi air (2) perubahan spesies dari Rhizophora menjadi Ceriops dan Avicennia, mengingat susbtrat di lokasi didominasi oleh pasir berkarang (3) sosialisasi lebih awal tentang penerapan metode penanaman mangrove yang benar kepada peserta MR 2008, dan beberapa tindakan persiapan lainnya.

Sebagai informasi, ada beberapa kasus pengingkaran terhadap kegagalan restorasi mangrove di pesisir. Umumnya, setiap pihak yang mengerjakan program/proyek rehabilitasi mangrove, akan mengklaim bahwa dirinya berhasil mencapai persentase kelulushidupan BBM yang tinggi, padahal tidaklah demikian. Sebuah kenyataan bahwa BBM yang ditanam banyak yang mati, seolah tak diakuinya. Mengapa banyak oknum yang bertindak seperti ini? Tak lain dan tak bukan karena mereka ingin mendapatkan pekerjaan restorasinya kembali, sembari “menjaga” kredibilitas institusinya agar selalu dipandang sebagai sebuah institusi yang selalu berhasil dalam melakukan pekerjaan rehabilitasi mangrove di pesisir. Tentunya, ini semua dilakukan demi uang semata.

“Penipuan” pekerjaan konservasi di wilayah pesisir seperti ini, pada akhirnya hanya akan berakibat buruk bagi lingkungan dan kehidupan kita. Proyek-proyek mangrove yang “seharusnya” gagal tapi diklaim berhasil tak akan bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi upaya pencegahan kegagalan proyek mangrove di masa depan.

Sebuah kasus terjadi di Sulawesi Utara, dimana ada banyak program rehabilitasi yang mengalami kegagalan sehingga hanya menghabiskan waktu dan uang. Upaya penanaman yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah setempat, terhadap satu areal bekas tambak udang, dilakukan sampai lima kali dalam kurun waktu delapan tahun. Anakan (bibit) mangrove ditanam tanpa memperhatikan kondisi ekologi (ketinggian substrat, aliran air, dan jenis yang cocok) sehingga hanya dalam waktu satu tahun, tingkat kematian anakan mangrove tersebut mendekati 100%. Namun demikian, dana rehabilitasi terus dikucurkan tanpa mencari penyebab kegagalan (Brown, 2006).

Kiranya, akan menjadi lebih baik apabila kita ini sebagai pelaksana program/proyek mangrove, mengakui saja tentang rendahnya persentase hidup anakan bakau kita. Mengapa demikian? Tentu saja dengan begitu, kita bisa menjadikan pengalaman kegagalan ini sebagai sebuah pedoman dan pembelajaran bersama demi usaha rehabilitasi mangrove, yang lebih baik lagi di masa mendatang. Sayangnya, ini tidak kita lakukan. Seringkali, kita ini berbohong kepada manusia -demi mendapatkan seonggok uang- dengan mengatakan bahwa BBM kita banyak yang hidup, walaupun tidak. Tega nian kita kepada bakau.

Pikiran kita, mungkin telah terpola sedemikian rupa sehingga beranggapan bahwa setiap keberhasilan adalah baik dan sebuah kegagalan adalah buruk. Kita lupa dengan pepatah bijak “Experience is the best teacher”. Tanpa memandang pengalaman itu baik ataupun buruk, dia tetap guru yang terbaik untuk membenahi langkah kita berikutnya. Semoga saja kita cepat tersadar, dan tak lagi malu lagi untuk mengakui kegagalan restorasi mangrove kita ke masyarakat banyak. Amin. Let’s save our mangrove. NOW!

No comments:

Post a Comment