17.5.08

Guru Kami Petani Mangrove

Semarang - KeSEMaTBLOG. Kami sempat tersenyum ketika membaca sebuah email dari Mbak Arum yang menganggap KeSEMaT sebagai sebuah Organisasi Mangrove Pintar (OMP) berbasis akademisi mangrove dari Universitas Diponegoro (UNDIP). Mbak-nya mengira bahwa kami di-back up langsung oleh para dosen UNDIP yang bergelar doktor dan profesor yang memang sangat mumpuni dan memiliki pengetahuan yang luas tentang mangrove.

Ini terbukti, dari setiap pertanyaan yang ditanyakan oleh masyarakat kepada kami, selalu bisa dijawab secara tuntas oleh KeSEMaT. Tentu saja, kami sangat senang dengan sanjungan ini. Namun demikian, kiranya ada beberapa hal yang perlu diluruskan.

Masalah menjawab secara tuntas, semaksimal mungkin memang kami berusaha untuk memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat, mengingat informasi mengenai mangrove, sampai sekarang ini masih minim dan sedang menuju ke tahap perkembangan. Walaupun sebagian besar masyarakat sudah memiliki pengetahuan tentang ekosistem pesisir ini, tapi tak sedikit pula yang masih tak tahu sama sekali apa itu mangrove.

Pelu diketahui, bahwa dalam memberikan beragam jawaban mangrove itu, kami sama sekali tak didampingi oleh para doktor dan profesor, bahkan apabila Anda perhatikan, KeSEMaTBLOG penuh dengan artikel yang bersifat pengalaman langsung dari para KeSEMaTERS di lapangan. Hal ini membuktikan bahwa KeSEMaTBLOG sebenarnya dihiasi oleh tulisan dari para KeSEMaTERS sendiri, yang jawabannya diambil langsung (baca: kami tanyakan) dari pengalaman para Praktisi Mangrove (PM) yang tersebar luas di pesisir Utara Jawa.

Para nelayan, petambak, dan petani mangrove, merekalah para PM itu, yang seringkali memberikan jawabannya atas berbagai permasalahan mangrove yang ditanyakan masyarakat kepada kami. Tim penulis KeSEMaTBLOG, hanya tinggal menulis ulang jawaban dari para PM, sehingga pada saat sampai ke “tangan Anda,” sudah dalam bentuk jawaban yang mudah dimengerti dan dicerna.

Selanjutnya, ratusan buku mangrove yang tersimpan di Perpustakaan KeSEMaT adalah juga sumber inspirasi dan pustaka kami dalam menjawab setiap pertanyaan masyarakat yang masuk ke email KeSEMaT.

Perlu diluruskan juga bahwa dalam jajaran kepengurusan kami, KeSEMaT juga tak memiliki seorang professor seperti yang dibayangkan Mbak Arum. Kami hanya memiliki SDM S3 dan S1 saja, yang terkadang “bertugas” menambahkan dan mengkritisi setiap artikel di KeSEMaTBLOG. KeSEMaT juga tidak di back-up oleh para dosen UNDIP melainkan hanya satu orang saja. Selebihnya, untuk urusan menulis artikel dan menjawab pertanyaan di KeSEMaTBLOG, para Alumni KeSEMaT yang tergabung dalam Ikatan Alumni KeSEMaT dengan beragam profesi-lah yang banyak membantu kinerja kami.

Guru mangrove kami bukan profesor
Kami sendiri berprinsip bahwa untuk mengetahui dan menimba ilmu mangrove tak harus melulu berguru kepada doktor atau profesor. Belajar mangrove kepada seorang petani mangrove-pun, sangat bisa untuk dilakukan. Lihatlah foto KeSEMaTERS di atas. Yang disalami oleh KeSEMaTERS itu adalah seorang bapak yang bernama Bapak Suyadi, yang sudah selama tiga tahun ini menjadi guru, dosen sekaligus pembimbing mangrove, kami.

Memang, belajar mangrove bisa dilakukan dimanapun dan tak wajib di kampus. Foto di atas memperlihatkan bahwa di saat kunjungan kerja kami ke Rembang, saat itu pulalah kami kuliah mangrove kepada Pak Yadi, sembari membahas berbagai pertanyaan rumit seputar teknik pembibitan dan penanaman mangrove yang ditanyakan masyarakat kepada KeSEMaT.

Kiranya, sebuah pengetahuan mangrove memang tak hanya dimiliki oleh seorang yang memiliki gelar akademisi, belaka. Kami yakin bahwa sebuah pengalaman yang dimiliki seorang petani tambak nominasi peraih KALPATARU, adalah juga ilmu mangrove terbaik. Pengalaman bekerja di mangrove, yang dimiliki oleh Pak Yadi, sejak puluhan tahun yang lalu, kami kira tak kalah berharga apabila dibandingkan dengan teori-teori yang sering diwacanakan dan diteorikan oleh seorang dosen di bangku kuliah, kami.

Satu mata kuliah paling berharga yang kami “curi” dari Bapak Yadi adalah sebuah aksi langsung ke lapangan, jauh lebih berharga daripada terus menerus mengemukakan sebuah wacana dan teori, saja. Terima kasih, Pak Yadi.

No comments:

Post a Comment