28.6.07

Pembangunan Mangrove : Kail Lebih Penting Daripada Ikannya

Demak - KeSEMaTBLOG. Pada tanggal 18 Juni 2007, saya dan teman-teman KeSEMaT menghadiri workshop sehari yang diadakan oleh OISCA Indonesia, dengan tema "Perlindungan Kawasan Rehabilitasi Mangrove untuk Kesejahteraan Masyarakat". Acara dipusatkan di lapangan SDN Bedono 1 Demak. Acara ini dihadiri oleh banyak stake holder seperti Pemerintah Kabupaten Demak, OISCA Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Jakarta, Universitas Diponegoro (UNDIP), Yayasan Mangrove Indonesia dan berbagai LSM di Jawa Tengah.

Acara yang dimulai pada pukul 08.30 WIB dan baru diakhiri pada pukul 16.30 WIB ini, menghasilkan sebuah rekomendasi tentang partisipasi semua elemen yang ada di masyarakat untuk menyelamatkan Desa Bedono dari abrasi pantai dan rob, yang semakin hari semakin menenggelamkan desa itu. Berbagai upaya akan ditempuh, seperti melakukan berbagai upaya konservasi (seperti penanaman mangrove) secara swadaya. Sebuah usaha yang sangat-sangat bagus!

Pada awalnya, saya sangat senang bisa mengikuti kegiatan ini, apalagi salah satu agendanya adalah upaya penyelamatan desa pesisir yang tentunya merupakan tujuan yang sangat mulia. Selanjutnya saya juga gembira, karena bisa bertemu (lagi) dengan masyarakat pesisir Bedono, yang beberapa bulan yang lalu pernah saya suluh. Hitung-hitung sebagai pelepas kangen sama mereka-lah.

Acara berlangsung menarik dan meriah. Beberapa pembicara yang diundang, memaparkan materi mangrovenya kepada para peserta workshop yang sebagian besar adalah masyarakat Bedono sendiri. Namun sayang, pada saat diskusi berlangsung, saya kok kurang sreg karena di sesi itu ada beberapa orang (pembicara dan peserta) workshop yang meminta bantuannya (baca: uangnya) ditambah (lagi) kepada OISCA Jepang yang memang mendanai proyek rehabilitasi pesisir di Bedono Demak ini. Bukan apa-apa, tapi apa pantas, ya. “Sudah diberi bantuan kok minta nambah. Apa tidak malu?” begitu rerasan sebagian peserta yang tidak setuju atas sikap ini.

Sebenarnya tak salah juga meminta bantuan kepada mereka, orang mereka juga dengan senang hati mau membantu. Tapi masalahnya, apakah kita ini bangsa yang tidak punya inisiatif sama sekali, sehingga terus saja meminta bantuan tanpa berdaya upaya sendiri?

Adalah OISCA (sebuah institusi dari Jepang), yang berniat mendanai proyek rehabilitasi pesisir di Bedono. Pemerintah-pun lewat DKP dan Pemerintah Kabupaten setempat, nampaknya juga mengamini inisiasi ini. Namun sayang, banyaknya bantuan yang diberikan kepada masyarakat Bedono, seolah membuat pola pikir masyarakat di sana menjadi kurang peka.

Saya bukannya menyalahkan masyarakat Bedono, namun lebih meminta kepada pemerintah supaya bekerja keras menanamakan sikap dan budaya inisiatif kepada mereka. Hal ini bisa membuka mata mereka, untuk tidak terlalu dan selalu bergantung kepada orang lain, kepada negara lain. Malu, ah!

Selanjutnya, saya juga bukannya berprasangka buruk pada Jepang, namun sebaliknya. Saya bahkan sangat berterima kasih kepada saudara tua Indonesia itu, karena akan membantu masyarakat Bedono dalam membangun pesisirnya. Namun selentingan teman-teman saya yang berpendapat bahwa bantuan yang diberikan berpamrih, (rasanya) perlu juga dipikirkan.

Selentingan mereka adalah begini, begitu mangrove tumbuh di Bedono, masyarakat Bedono yang tak sadar, akan “dipaksa” untuk membuka tambak kepiting yang hasilnya (tentu saja) harus diekspor ke Jepang. Intinya, program rehabilitasi mangrove ini, tak lain dan tak bukan, akan tetap bermuara ke alias demi kepentingan Jepang, juga.

Pengalaman saya dan teman-teman KeSEMaT mengadakan penyuluhan ke masyarakat Bedono, pengetahuan mereka tentang mangrove memang sangatlah minim. Saya takut, apabila terus “dicekoki” dengan bantuan berupa uang dan pembangunan rumah tanpa dibarengi dengan penyuluhan dan pendidikan mangrove, pola pikir dan budaya mereka yang agak kurang ramah dengan mangrove, bisa membuat umur bantuan itu tak jangka panjang.

Artinya begini, apabila pembangunan fisik telah selesai dilakukan namun tanpa diiringi dengan pembangunan sikap hidup dan budaya mereka untuk mulai mencintai mangrove, maka akan sia-sia saja program-program rehabilitasi yang mulai akan dirintis oleh OISCA dan pemerintah. Untuk menyelamatkan ekosistem mangrove, bukan pembangunan fisik saja yang dibutuhkan, melainkan pembangunan mental masyarakat. Yang dibutuhkan adalah sikap hidup dan budaya mencintai mangrove. Inilah yang nampaknya belum dimiliki oleh masyarakat Bedono.

Saya takutnya begini, apabila pemerintah terus saja memberikan bantuan kepada mereka tanpa memberikan program penyuluhan mangrove pun pendidikannya, di masa mendatang kalau bantuannya habis, maka pola pikir mereka juga akan habis. Hal ini tak akan terjadi apabila yang diberikan adalah pendidikan mangrove terlebih dahulu. Sambil program bantuannya bergulir, penyuluhan mangrove terus dilakukan untuk menyeimbangkan dengan bantuan dananya.

Menurut hemat saya, sebenarnya yang lebih dibutuhkan masyarakat Bedono adalah program-program pendidikan mangrove dan bukanlah uang. Masyarakat di pesisir pantai itu lebih butuh kail daripada ikannya. Kail lebih penting daripada ikan.

Terlepas dari semua wacana di atas, saya yakin seratus persen, program sosialisasi tetap ada dan tetap dilaksanakan dengan baik. Walaupun saya kurang tahu, secara teknis bagaimana program sosialisasi tersebut. Semoga saja anggapan saya yang berpikir bahwa sosialisasi yang dilakukan hanyalah sosialisasi pembagian uang dan bukan sosialisasi pendidikan mangrove adalah salah. Ya, semoga saja saya salah. (IKAMaT).

1 comment:

  1. memang perlu diwaspadai kepentingan apa dibalik bantuan yang diberikan. Karena budaya kita adalah bangga menerima bantuan bukanya malu.

    ReplyDelete