1.6.07

Mungkinkah Konsultasi Mangrove Disiarkan di Radio?

Semarang - KeSEMaTBLOG. Agak cemburu juga mendengar banyak radio di Semarang yang (hanya) menyiarkan program konsultasi (gratis) tentang HIV AIDS, tentang ramalan bintang, tentang kesehatan wanita, dan tentang-tentang lainnya, secara reguler dan periodik, tanpa ada yang memberikan konsultasi (gratis) mengenai mangrove. Sebenarnya saya bukan radioholic alias orang yang senang menghabiskan waktunya untuk mendengarkan radio. Namun, sesekali memang saya sempatkan untuk mendapatkan informasi dari radio kecil yang ada di handphone saya, untuk menyeimbangkan informasi yang saya dapat dari buku, televisi, internet dan surat kabar. Dan dari penemuan saya tentang fakta di atas, saya pikir tak ada salahnya menulis tentang tema ini di KeSEMaTBLOG.

Beberapa teman mahasiswa yang saya ajak bertukar pendapat mengenai hal ini, sempat menganggap saya kurang waras dan terlalu mengada-ada. Menurut mereka, radio, pihak media massa milik publik yang notabene bertugas menyiarkan informasi bersifat umum kepada masyarakat, tak bisa dengan leluasa menyiarkan hal-hal yang terlalu spesifik seperti mangrove, misalnya.

“Kecuali kalau kamu memiliki stasiun radio sendiri tentang mangrove, kamu bisa saja dengan leluasa mem-blow up mangrove sebagai fokus utama siaranmu di setiap harinya. Tapi, tema mangrove terlalu sempit, Ris. Kamu harus bisa mencari tema yang lebih luas agar tak membosankan, banyak bahan untuk dibahas dan diomongkan, dan yang lebih penting menguntungkan dari segi bisnis. Ingat, radio juga tak akan bisa hidup tanpa iklan,” begitu pendapat mereka.

Ya, saya setuju dengan pendapat rekan-rekan saya itu. Seratus persen. Tapi sebentar, yang saya maksudkan sebenarnya bukan seperti itu. Saya juga tidak setuju kalau setiap hari, pendengar radio disuguhkan dengan informasi mangrove melulu. Bikin bosan dan terkesan mendoktrin untuk selalu melestarikan mangrove dengan paksaan dan tanpa kesadaran mereka sendiri. Bukan seperti itu yang saya mau.

Intinya, saya hanya ingin menyampaikan, mohon sense of belonging-nya radio terhadap lingkungan (baca: mangrove) bisa ditingkatkan lagi karena di Semarang ini (entah dengan di daerah lainnya), belum pernah ada yang namanya konsultasi mangrove (apalagi disiarkan secara periodik) di radio.

Selanjutnya, saya tidak menyalahkan radio. Radio, biarlah dengan formatnya seperti sekarang ini. Tapi sekali lagi, mohon bisa ditingkatkan kepeduliannya terhadap lingkungan. Bagimana caranya? Menambah porsi berita, program dan content lainnya yang berbau lingkungan adalah jawabannya.

Dari pengalaman satu kali siaran di sebuah radio swasta di Semarang, saya berkesimpulan bahwa sebenarnya anak muda Kota Lumpia ini sangat haus informasi mengenai lingkungan (dan saya yakin, begitu juga di daerah lainnya di seluruh Indonesia). Saat mempromosikan Mangrove Cultivation (MC) 2007: Penyuluhan dan Pembibitan Mangrove, banyak anak muda yang bertanya mengenai apa itu mangrove, bagaimana cara pembibitan dan penanamannya, dan lain-lain. Saya sebenarnya senang dengan banyaknya pendengar yang bertanya, namun saya juga sedih karena ternyata mereka belum banyak tahu tentang mangrove.

Antusiasme mereka yang tinggi terhadap MC membuat saya yakin bahwa sebenarnya acara lingkungan apabila diformat dengan baik, juga tak kalah pamornya dengan acara-acara musik yang kini semakin hari semakin merajai hampir di setiap daerah di Indonesia. Acara pembibitan dan penanaman mangrove yang dikombinasikan dengan pagelaran musik misalnya, adalah salah satu contoh konkritnya. Sekarang, tergantung dari pihak sponsor, mau tidak membantu dalam hal pendanaan terhadap acara ini.

Dari beberapa uraian di atas bisa disimpulkan dan direkomendasikan bahwa kalau pihak radio berniat membantu memperkenalkan lingkungan (baca: mangrove) kepada masyarakat, maka content lingkungan yang biasanya hanya disiarkan pada bulan-bulan tertentu saja (misalnya bulan Juni, pada saat Hari Lingkungan Hidup Sedunia) sebaiknya (mohon) mulai dirubah. Content lingkungan (terutama mangrove) bisa disisipkan setiap hari, di acara-acara berita (walupun dibacakan hanya beberapa detik).

Dengan publikasi harian, saya kira radio bisa lebih mempopulerkan mangrove kepada masyarakat. Dengan demikian, sedikit banyak radio bisa membantu dalam usaha edukasi terhadap masyarakat Indonesia untuk ikut serta membangun dan menyelamatkan pesisirnya yang semakin hari semakin mengkhawatirkan keadaannya.

Sebagai penutup, saya hanya berusaha mengingatkan bahwa disadari atau tidak, manusia akan selalu hidup berdampingan dan membutuhkan lingkungan sebagai tempat hidup mereka. Tanpa lingkungan, apalah arti hidup manusia. Namun terkadang, manusia lebih suka berhubungan dengan sesamanya saja tanpa mempedulikan lingkungannya. Tsunami dahsyat yang menggulung NAD dan menewaskan ribuan nyawa manusia adalah contoh nyata amarah lingkungan, apabila kita tidak lagi mengindahkan keberadaan mereka.

Ayo, mulai siarkan mangrove di radio, sekarang! Jangan takut radio tak laku lagi begitu ada content mangrove didalamnya. Percayalah, sudah menjadi fitrah manusia untuk bisa berhubungan bukan hanya dengan sesama manusia saja, melainkan juga dengan lingkungan dan alam sekitarnya. (IKAMaT).

No comments:

Post a Comment