7.10.08

Mari, Perangi Monokultur Mangrove!

Semarang - KeSEMaTBLOG. Awal puasa lalu, kami kembali melakukan program monitoring terhadap bayi-bayi mangrove kami di Teluk Awur Jepara. Program monitoring-mangrove yang kami sebut dengan KeSEMaT Goes To Arboretum (KGTA) ini, memang selalu kami adakan minimal satu bulan sekali di Arboretum Mangrove, kami. Setelah bekerja beberapa saat membenahi ajir-ajir yang mulai roboh karena terterjang gelombang pasang dan menyulami beberapa bibit mangrove yang mati dengan Bruguiera gymnorrhiza dari Bali, kami sempat bertemu dan berbincang dengan seorang bapak nelayan setempat.

Awal perbincangan kami terasa sangat menyenangkan. Bapak ini memuji dan mengapresiasi positif kinerja kami dalam merehabilitasi pesisir pantai Teluk Awur sejak 2001 sampai dengan sekarang (2008). Dia menambahkan, inisiatif yang telah ditunjukkan oleh KeSEMaT, patut didukung, dicontoh dan diikuti oleh masyarakat sekitar sehingga ke depannya, pantai Teluk Awur Jepara, bisa semakin lebat dan hijau, lagi.

Perbincangan dan diskusi tentang pengelolaan mangrove di Teluk Awur, berlangsung selama tak kurang dari lima belas menit. Di akhir perbincangan kami, disaat beliau berkata, “Ya. Sudah pasti, saya dan teman-teman akan membantu KeSEMaT untuk menanami pesisir pantai ini dengan Rhizophora-semua, biar pantai ini semakin hijau!,” kami jadi tahu bahwa ada sesuatu yang “salah” dalam pernyataan Bapak, tadi. Sesuatu yang “salah”? Ya! Ada sesuatu yang “salah”! Apakah itu?

Sebenarnya tidak “salah”. Namun, pernyataan Bapak yang bertekad “untuk menanami pesisir pantai Teluk Awur dengan Rhizophora-semua” inilah, yang kiranya agak mengganggu kami. Kalau benar, beliau ingin membantu kami menghijaukan kembali pesisir Teluk Awur dengan satu jenis mangrove saja, yaitu Rhizophora, berarti beliau akan menerapkan sistem penanaman Monokultur, dan ini berbahaya!

Terlepas dari tahu tidaknya Sang Bapak akan Monokultur, kampanye untuk memerangi sistem penanaman mangrove ini, memang sedang getol-getolnya dilakukan. Sebuah organisasi mangrove seperti Mangrove Action Project (MAP) misalnya, bahkan seringkali menulis tentang bahayanya Monokultur bagi ekosistem mangrove, di situs resmi mereka. Tak hanya MAP, Wetlands International Indonesia Programme (WI-IP) yang berkantor di Bogor, juga telah mengkampanyekan “perang” melawan Monokultur dalam Seminar Nasional “Forest fo Rent” – Mangrove REpLaNT (MR) 2008 KeSEMaT di Teluk Awur Jepara, beberapa bulan lalu.

Sebenarnya, apa Monokultur, itu? Mengapa sistem penanaman mangrove ini tidak dianjurkan, dianggap berbahaya bahkan sampai harus diperangi, segala? Monokultur adalah sebuah sistem penanaman mangrove dengan menggunakan satu jenis mangrove saja. Jadi, bibit-bibit mangrove sebagai “bahan mentah” program penanggulangan abrasi, dipilih hanya dari satu jenis saja. Rhizophora adalah salah satu spesies mangrove favorit yang sangat disukai.

Lalu, mengapa hal ini dikatakan berbahaya? Bukankah bagus kalau pesisir pantai kita bisa tertutupi dengan ribuan pohon Rhizophora? Selain menghijaukan pantai, akar-akarnya yang kuat, juga akan bisa mencegah terjadinya abrasi?

Ya. Memang bagus. Bagus sekali. Tak usah diragukan lagi tentang fungsi dan manfaat mangrove bagi alam dan manusia. Mangrove sangat berguna dari sisi ekologis, ekonomis, sosial budaya, fisik dan berbagai aspek lainnya. Namun, apabila kita menerapkan pola Monokultur ini, coba deh kita pikirkan efek jangka panjangnya.

Maksudnya begini, apabila penanaman satu jenis bibit mangrove ini terus saja dilakukan, di masa mendatang, pesisir pantai kita akan hanya ditumbuhi oleh satu spesies mangrove, saja. Jika sudah demikian, maka apabila ditinjau dari aspek keseimbangan ekologis, tentu saja hal ini sangatlah tidak baik. Apa pasal? Karena dikhawatirkan Rhizophora akan mendominasi dan memonopoli semua pesisir pantai yang ada.

Pemonopolian Rhizophora ini, akan mengganggu pertumbuhan spesies mangrove lainnya sehingga mengakibatkan terganggunya siklus energi yang ada di ekosistem ini.

Selanjutnya, seperti telah diketahui bersama bahwa dalam penyebaran alaminya, vegetasi mangrove tak hanya tersusun oleh Rhizophora saja, melainkan juga terdiri dari berpuluh-puluh spesies mangrove lainnya yang menempati satu areal lahan. Absennya jenis mangrove-lainnya, akan mengganggu keseimbangan di ekosistem mangrove sendiri, berikut lingkungan sekitarnya.

Terlebih lagi, berbagai hama mangrove-baru bisa saja bermunculan dan memangsa Rhizophora. Tak adanya jenis mangrove-lainnya sebagai bahan makanan mereka, membuat para hama “menyerbu” Rhizophora sebagai sebuah santapan baru nan lezat. Parahnya, karena hanya “memakan” satu jenis mangrove saja, dalam jangka panjang, hama-hama ini lambat laun akan bisa mengatasi insektisida dan musuh alaminya, sehingga mampu mengembangkan dirinya untuk bersifat resisten alias kebal terhadap segala bentuk insektisida dan musuh alaminya, tadi.

Beberapa keterangan di atas hanyalah sedikit contoh dari banyak dampak negatif Monokultur. Nyatanya, bahaya Monokultur tak hanya mengancam dari segi ekologis, saja. Dari segi ekonomis, buah-buahan Avicennia, Bruguiera, dan Sonneratia yang notabene banyak digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai bahan pembuat permen, sirup, dodol, kue, urap, dan makanan-minuman mangrove lainnya, juga akan semakin langka. Akibatnya, pendapatan masyarakat-pun terancam.

Maka, sebuah usaha untuk mulai membuka wacana masyarakat luas akan bahaya Monokultur, harus mulai banyak disebarluaskan. Namun demikian, tentunya kita tak boleh berhenti berada dalam tahap mewacanakan, saja. Wajib dicari solusi yang tepat, tentang bagaimana cara mencegah sistem penanaman mangrove ini, supaya tidak “tersebar” semakin luas lagi, mengingat kondisi sekarang, sistem ini masih sangat populer.

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi gencarnya Monokultur, diantaranya adalah:
1.Para petani mangrove yang notabene adalah produsen utama bibit mangrove, harus mulai dihimbau dan diberikan pengetahuan untuk melakukan pembibitan jenis mangrove yang bervariasi dan tak hanya Rhizophora, Ceriops, Bruguiera dan Avicennia, saja. Sebuah studi awal tentang (1) kemampuan mangrove untuk dicangkok yang dilakukan oleh KeSEMaTERS, Sumedi (2006) dan (2) teknologi penyinaran sinar plasma menggunakan sinar gamma yang terbukti mampu mempercepat pertumbuhan propagul mangrove yang dilakukan oleh Dosen UNDIP, Muhamad Nur (2007), bisa menjadi sebuah pedoman yang baik, untuk mulai mengembangkan pembibitan dari berbagai jenis mangrove-lainnya.

2.Para pelaksana proyek mangrove, harus pula memiliki inisiasi untuk tak hanya menanam keempat jenis mangrove tersebut di atas saja, melainkan harus mau mengimplementasikan proyek penanaman mangrove jenis baru seperti Aegiceras, Pemphis, Kandelia, dan jenis mangrove lainnya.

3.Wacana umum yang berkembang seputar tujuan utama pelaksanaan proyek yang mengatakan bahwa mangrove hanya ditanam untuk menyelamatkan tanah dari abrasi, harus mulai dirubah. Sejatinya, penanaman mangrove tak hanya berfungsi sebagai penahan gelombang penyebab abrasi, saja. Lebih dari itu, manfaat mangrove sebagai penyeimbang ekosistem dan penjaga kestabilan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga harus disebarluaskan.

Poin ketiga, kiranya adalah poin terpenting. Mengapa demikian? Karena selama ini, para pelaksana proyek berikut rekanannya cenderung terlihat tak ingin bersusah payah dalam mengerjakan proyek dengan cara memainkan tahapan pekerjaan rehabilitasi mangrove yang sekenanya saja sehingga seringkali mengabaikan unsur-unsur ekologis mangrove dan jiwa konservasi yang seharusnya ditumbuhkan dalam diri masing-masing dari mereka.

Demikian, informasi dari kami. Semoga, bisa membuka mata kita untuk mulai bisa menyadari bahwa betapa tak tepatnya apabila Monokultur diterapkan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di pesisir pantai, kita. Mari, perangi monokultur. Sekarang! Salam MANGROVER!

No comments:

Post a Comment