29.4.07

Nasib Mangrove: Setelah Ditanam, “Dibuang”!

Semarang - KeSEMaTBLOG. Ini adalah foto hasil pembibitan benih mangrove (usia tiga bulan), dari dua jenis yang berbeda. Mangrove sebelah kiri (tinggi) adalah dari jenis Rhizophora mucronata, sedangkan sebelah kanannya (rendah) adalah Ceriops decandra. Foto diambil dari Kebun Bibit KeSEMaT, di Arboretum KeSEMaT, Teluk Awur Jepara. Setelah tiga bulan, benih mangrove yang awalnya adalah sebatang propagul, menjelma menjadi bibit-bibit mangrove dengan dua sampai empat pasang daun (ketinggian 90 cm), yang siap ditanam di lapangan, untuk mengatasi berbagai masalah pesisir seperti abrasi pantai yang sampai kini tak kunjung terselesaikan.

Saya pribadi sangat menyarankan, sebelum ditanam di lapangan (untuk program rehabilitasi pesisir), akan lebih baik apabila benih mangrove dibibitkan terlebih dahulu, supaya nantinya memiliki kelulushidupan yang tinggi. Apa pasal? Bibit akan memiliki daya tahan lingkungan yang lebih tinggi daripada benih.

Menurut penelitian, penanaman mangrove dengan menggunakan “bahan mentah” bibit, memiliki kelulushidupan yang lebih besar. Hal ini sudah terbukti, dan telah dibuktikan KeSEMaT, di setiap program konservasinya, semisal Mangrove REpLaNT.

Namun demikian, program pembibitan mangrove, bukanlah suatu kewajiban. Banyak juga, program-program penanaman mangrove untuk merehabilitasi pesisir, yang menggunakan benih mangrove (biji) sebagai “bahan mentahnya”, dan bukan bibit yang telah memiliki dua sampai empat pasang daun.

Masalah rehabilitasi dengan “bahan mentah” benih mangrove
Kalau benih-benih mangrove itu ditanam di daerah pesisir yang agak terlindung dan tak memiliki gelombang besar, mungkin bisa saja dan tak terlalu dipermasalahkan, mengingat mangrove juga tak tergolong tumbuhan yang rewel dan bisa tumbuh dengan sendirinya. Tapi kalau ditanam di daerah yang memiliki gelombang besar dan ditempat lebih terbuka serta tak terlindung, tentunya akan jadi masalah besar. Benih yang ditanam itu akan “melawan” gelombang laut besar yang terjadi setiap saat. Tak ayal lagi, dalam beberapa minggu saja, benih-benih mangrove itu pasti akan roboh bahkan hilang tersapu gelombang pasang. Apa pasal? Benih-benih mangrove tadi, tak kuat lagi menahan kerasnya hantaman gelombang pasang yang terus-menerus datang menerpanya.

Hal seperti ini terjadi di Demak. Pada waktu melakukan penelitian di sana, saya kadang miris dan sedih, menyaksikan di beberapa titik sekitar pantai, terjadi penanaman mangrove yang mubazir (baca: gagal). Benih-benih mangrove yang masih berwujud propagul, 90% tumbang, busuk, dan hanyut terbawa arus. Saya melihat, betapa penanaman mangrove dengan menggunakan “bahan mentah” benih, yang ditambah dengan penanaman yang tidak benar (tanpa ajir), dan ditambah lagi dengan tak adanya perawatan terhadap benih mangrove yang telah ditanam tadi, telah menyebabkan penanaman mangrove menjadi sangat sia-sia. Penanaman mangrove seperti ini masih sering terjadi, karena masih adanya pihak-pihak penyelenggara penanaman yang (mungkin) belum mengetahui tata cara dan teknik penanaman mangrove yang benar.

Setelah ditanam, habis itu dibuang!
Memang benar, bahwa penanaman mangrove tadi dibuka oleh para petinggi-petinggi negeri ini. Benar pula pada saat pembukaan acara rehabilitasi itu, dihadiri oleh tak kurang dari puluhan wartawan, puluhan instansi/organisasi dan ratusan orang, bahkan lebih. Tapi tidak benar, kalau hasil benih mangrove yang tumbuh juga berjumlah puluhan bahkan ratusan. Faktanya, setelah ditanami, daerah terabrasi tadi langsung ditinggal dan tak ada yang merawatnya. Setelah ditanam, mereka langsung dibuang, dicampakkan ke tanah. Penanaman mangrove hanyalah simbolis ABS, Asal Bapak Senang, saja.

Kalau seperti ini, mendingan tak usah diadakan saja-lah, program-program penanaman mangrove itu. Penanaman mangrove yang “serabutan” dan serampangan seperti ini hanya buang-buang waktu, buang-buang uang dan tak ada fedahnya. Lebih baik uangnya dialokasikan untuk kegiatan dan program pemerintah lain yang lebih berguna.

Anggapan bahwa kita ini menipu dan munafik terhadap lingkungan pesisir, agaknya memang benar. Bermuka manis pada saat penanaman tapi bermuka masam begitu disuruh untuk memelihara dan merawatnya. Jadi, memang tak salah kalau sampai dengan detik ini, pesisir kita tak mau mendukung dan melindungi kita dari bahaya abrasi pantai.

Jangan salahkan mereka, kalau setiap harinya, mereka dengan santainya menggeruskan dirinya dan bermain-main dengan abrasi pantai. Saya kira itu balasan setimpal yang diberikan lingkungan pesisir kepada kita, mengingat tingkah laku kita yang munafik terhadapnya.

Hasilnya? Lihatlah, di Jepara saja sudah lebih dari tujuh titik ditengarai sebagai daerah abrasi pantai yang berbahaya. Di Jawa Tengah, terutama Pantai Utara Jawa, mungkin sudah berpuluh-puluh lebih. Pertanyaannya sekarang, mau sampai kapan ini terjadi?! Tolonglah, jangan dipermainkan lingkungan pesisir kita, itu. (Oleh : IKAMaT).

No comments:

Post a Comment