8.4.07

Asyiknya, Membuat Film Dokumenter Fauna Mangrove

Jepara - KeSEMaTBLOG. Ada banyak binatang lucu dan unik di hutan mangrove Teluk Awur Jepara. Namun sayang, habitat mereka terancam karena ulah penduduk setempat yang merusak dan menebangi pohon mangrove. Padahal hutan mangrove digunakan sebagai tempat berteduh sekaligus beranak-pinak bagi binatang-binatang mangrove itu. Penduduk sekitar tak menyadari, dibalik hutan mangrove, ada kehidupan lain layaknya kehidupan mereka.

Kehidupan binatang-binatang mangrove! Mereka kurang peduli dengan ekosistem mangrove di sekitarnya. Hal ini terlihat dari semakin menipisnya vegetasi mangrove yang ada. Bahkan beberapa waktu lalu, sempat tersiar kabar ada oknum masyarakat yang sengaja menebangi pohon mangrove.

Ini berbahaya, karena habitat binatang-binatang mangrove itu bisa terancam! Harus segera diberikan pengertian kepada masyarakat sekitar bahwa binatang-bintang mangrove juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka makhluk hidup seperti kita!

Untuk memberikan informasi, pendidikan dan pengetahuan tentang binatang-binatang mangrove itulah, pada bulan Juli 2004, saya bersama 18 orang rekan-rekan saya, sempat memfilmkan binatang-binatang mangrove di hutan mangrove Teluk Awur dan Tanggul Tlare Jepara.

Pembuatan film ini didanai oleh WI-IP (Wetlands International Indonesia Programme) yang kemudian menunjuk organisasi saya, KeSEMaT (Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur) sebagai pelaksananya. Kegiatan ini mendapat dukungan sepenuhnya dari pihak Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang.

Berangkat ke lokasi syuting
Prosesnya diawali dengan pembuatan naskah film. Naskah film terdiri dari dua bagian yaitu naskah film asli dan dibalik layar. Setelah naskah selesai dibuat kami mulai mengadakan persiapan peralatan. Peralatan kami terdiri dari handycam dua set, televisi, kamera, tripod, dan lainnya yang akan kami bawa dengan menggunakan mobil. Kami harus memastikan bahwa semua peralatan sudah kami bawa.

Sore itu, kami berangkat ke Jepara. Jam tepat menunjukkan pukul setengah empat sore, berarti matahari sudah tak terlalu terik. Perjalanan ke Jepara akan memakan waktu hingga 2 jam.

Petualanganpun dimulai. Kami memberi nama kegiatan ini dengan Mangrove Movie yang berarti membuat film tentang mangrove. Di tengah jalan, Sang Sutradara sempat menerima telepon dari wartawan yang berniat meliput kegiatan ini.

Matahari mulai terbenam, dan malam merayap datang. Menjelang Maghrib, kami sampai di asrama mahasiswa Undip Jepara. Di sinilah kami akan menginap, menghabiskan waktu selama 5 hari dan memfilmkan binatang-binatang mangrove.

Kami segera menurunkan barang-barang dan mencek peralatan. Kami harus memastikan kalau peralatan yang kami bawa dari Semarang tak ada yang tertinggal. Setelah itu kami segera berkoordinasi dengan tim Mangrove Movie Jepara, dan mencocokkan jadwal kegiatan. Acara diteruskan dengan mengangkat meja dan kursi untuk mengatur ruangan.

Ruangan kami terdiri dari 2 kamar tidur kru film dan 1 ruang simulasi ruangan. Ruang simulasi adalah ruangan yang digunakan untuk mensyuting binatang mangrove agar kami mendapatkan gambar binatang mangrove secara lebih mendetail lagi.

Jam menunjukkan pukul 19.00 WIB. Setelah mandi, sekarang waktunya makan malam. Kami makan di kantin asrama yang letaknya hanya 50 meter dari base camp kami. Makan malam penting sekali, karena setelah ini kami akan segera ke lapangan dan mencari binatang-binatang mangrove.

Sesaat kemudian kami rapat kecil untuk berkoordinasi akhir. Rapat ini membahas tentang kesiapan peralatan, jobsdescription, jadwal kegiatan dan lain-lain. Rapat dilanjutkan dengan pembagian kokard.

Syuting Lapangan

Sekarang saatnya ke lapangan. Malam ini kami akan mencari binatang-binatang mangrove di hutan mangrove Tanggul Tlare Jepara. Tanggul Tlare tak terlalu jauh dengan asrama. Perjalanan akan memakan waktu setengah jam. Kami naik motor berboncengan. Suara deru motor kami, terdengar menderu di gelapnya malam.

Akhirnya kami sampai. Setelah berdoa dan briefing sebentar, kami segera masuk ke lumpur-lumpur mangrove. Tujuan kami adalah mengambil sampel binatang mangrove untuk segera kami angkut ke ruang simulasi.

Malam hari bergulat di lumpur mangrove, terasa sangat mengasyikkan. Sambil bersendau gurau kami terus mencari binatang-binatang mangrove. Serius tapi santai, itulah moto kami.

Malam mulai larut. Malam adalah saat yang tepat bagi binatang-binatang mangrove nokturnal, untuk keluar bersosialisasi dan mencari makan. Saat inilah yang kami tunggu-tunggu. Kami berharap semua binatang mangrove keluar dari ‘rumahnya’ sehingga kami tak repot untuk memfilmkannya.

Kala itu, kami sempat disibukkan dengan kepiting besar yang lepas dan masuk ke lubangnya. Kepiting ini jenis kepiting Grapsidae, namanya Episesarma sp. Dia terlihat berjalan di balik akar Avicennia. Kepiting ini adalah seekor kepiting pemanjat pohon yang besar. Besarnya sekepalan tangan orang dewasa. Dia nampak mencari makan dengan capitnya.

Episesarma memiliki organ tubuh bernama maksiliped, yaitu pasangan anggota tubuhnya yang dipergunakan untuk makan. Lubang kepiting ini memiliki diameter mencapai 6 cm. Kepiting ini hidup secara berkelompok. Dalam 25 m2 bisa terdapat 5 sampai 6 lubang.

Untuk membedakan satu spesies dengan spesies lainnya, kita bisa melihat dari warna capitnya. Kepiting jantan, memiliki bentuk abdomen atau perut yang lancip. Sedangkan kepiting betinanya, memiliki bentuk perut yang membundar.

Selesai mencari makan, dia terlihat kembali ke dalam lubangnya. Dia tipe kepiting pemanjat pohon yang suka main panjat-panjatan di pohon! Tapi nggak terlalu tinggi hanya 3-5 meter dari permukaan tanah. Tujuannya untuk menghindari air pasang dan predator utamanya seperti ular dan berang-berang.

Begitu tercapit, jangan tanya rasa sakitnya. Sengatan lebah, lewat! Menurut kabar ada tiga spesies dan semuanya bernilai ekonomis. Sayang di Indonesia kurang terkenal, masih kalah dengan Kepiting Bakau (Scylla serrata) yang sudah banyak dibudidaya.

Di daerah Demak, orang lebih suka menyebutnya sebagai Wideng. Banyak diburu juga, tapi nggak terlalu komersil. Padahal di Thailand, kepiting ini sangat terkenal cita rasanya. Dengan bumbu rahasia, dia dimasak pake cuka dan menjadi seafood favorit di sana!

Selesai menangkap Episesarma kemudian kami berburu Coenobita sp Si Kelomang Darat yang hidup di sekitar pantai. Kami mujur, karena tak jauh dari situ, di pinggiran laut, terlihat kepiting bercangkang keong baru saja keluar dari laut menuju ke darat. Kepiting ini adalah jenis Kelomang Darat.

Nama ilmiahnya adalah Coenobita sp. Disebut juga dengan kepiting pertapa atau kepiting hermit, karena dia nampak seperti pertapa, dan cangkang keong itu adalah goanya.

Orang sering salah kaprah dengan kelomang ini. Mereka menganggap kepiting hermit ini sebagai keong. Padahal bukan. Kelomang dilahirkan telanjang tanpa cangkang. Dia adalah kepiting Anomura yang hanya memiliki 3 pasang kaki jalan.

Sungut pendek atau antenula, terletak diantara matanya, yang digunakan untuk menangkap bau dan mencari makanan. Sedangkan sungut panjangnya atau antena, terletak diluar matanya, yang berfungsi sebagai penyentuh benda.

Saat saya angkat dari atas tanah, dia berontak, dan melompat keluar dari cangkangnya. Benar-benar kepiting nekat! Kelomang darat bisa dijadikan binatang peliharaan yang lucu. Sebenarnya kepiting hermit ini tak kalah dengan Hamster atau Iguana. Hanya, kurang populer saja, sebagai binatang peliharaan.

Malam itu, kami melihat dia, mau melakukan pergantian cangkang keongnya. Dia mulai gelisah. Kemudian, mulai mencari cangkang baru di pesisir pantai dekat mangrove. Dia berjalan mundur sambil menyembunyikan karapasnya yang lunak.

Di alam, dia akan menggunakan apa saja untuk mengganti cangkangnya, bila dirasakan sudah sempit. Kepiting Hermit berganti cangkang sejalan dengan pertumbuhan tubuhnya.

Jika tidak segera menemukan cangkang, dia bisa memakai cangkang apa saja seperti bohlam lampu bekas yang ada disampingnya. Dia mulai mencobanya.

Kepiting Hermit sangat pemilih dalam menentukan cangkangnya. Dia bisa menghabiskan waktu hingga dua jam, hanya untuk melihat-lihat cangkang barunya.

Dengan menyentuh menggun akan kaki dan antenanya, dia berpindah tempat ke cangkang barunya. Dia harus memastikan, kalau cangkang barunya itu, kualitasnya jauh lebih baik daripada cangkang lamanya. Akhirnya dia mendapatkan cangkang barunya yang unik.

Malam semakin larut. Buruan, kami tampung di ember. Setelah semua binatang mangrove kami dapatkan, kami segera kembali ke asrama.

Selesai mandi, kami segera membuat setting untuk syuting ruangan besok. Jam tepat menunjukkan pukul 01.00 WIB. Rasa letih dan mata ngantuk tak kami hiraukan. Kami mengambil Episesarma, Coenobita, dan binatang mangrove lainnya yang telah kami tangkap, dan memasukkannya ke habitat ‘palsu’ di dalam ember-ember simulasi.

Kami harus mendesain habitat binatang mangrove semirip mungkin dengan aslinya. Simulasi ruangan ini dilakukan, agar kami bisa men-syut dan mendapatkan gambar binatang-binatang mangrove dari dekat secara lebih mendetail lagi. Hal yang tak bisa kami lakukan, kalau kami mensyutnya langsung di lapangan.

Syuting Ruangan
Setelah cukup istirahat, pagi harinya kami memulai syuting ruangan. Sebelum syuting, salah satu kru kami melakukan persiapan akhir seting habitat ikan gelodok. Kami harus sabar memfilmkannya untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Ikan Gelodok memang tak bisa diam, selalu saja bergerak hingga kami kesulitan mengambil gambarnya. Pagi itu kami ingin memfilmkan kedipan matanya yang khas. Perlu waktu hingga seperempat jam untuk menunggunya berkedip! Sungguh perlu kesabaran tinggi!

Namun demikian sebenarnya dia adalah ikan lucu. Saat kami menangkapnya di lapangan, dua ikan gelodok nampak bersantai di bawah rimbunnya Rhizophora. Ikan Gelodok sering terlihat bermain-main di substrat mangrove dan sering bersender di dahan bakau. Disebut juga dengan Mudskipper. Dia adalah ikan lumpur yang lucu. Ikan gelodok bisa berjalan dan berlompatan diantara akar-akar mangrove.

Ikan ini merupakan keluarga dari ikan Gobiidae. Dia memiliki mata yang menonjol keluar. Matanya berfungsi maksimal saat melihat pemangsanya dari jauh. Kemampuannya untuk hidup di dua alam, menjadikan binatang ini sangat tangguh.

Ikan gelodok, memiliki kemampuan berjalan dengan kaki palsunya. Sebenarnya kaki ini adalah sirip dadanya yang telah mengalami adaptasi, sehingga menjadi kuat, dan bisa digunakan untuk berjalan di lumpur mangrove. Tak salah kalau disebut ikan bermata kodok. Yang unik adalah, dia bisa berkedip!

Tidak semua ikan gelodok hidup di lumpur mangrove, ada juga yang hidup di muara atau in let saluran air yang masuk ke dalam hutan mangrove.

Ular adalah predator ikan gelodok. Saat di lapangan kami melihat ular mangrove mencari makan pada malam hari. Dalam pengembaraannya mencari makan, ikan gelodok tidak menyadarai bahwa terdapat binatang lain yang mengincarnya. Seekor ular mangrove!

Ikan gelodok adalah makanan lezat yang dapat mengganjal perut ular, hingga 3 sampai 4 hari, saat perburuan berikutnya. Rantai makanan ini terus terjadi di alam. Alam memiliki cara yang khas untuk menjaga keseimbangannya.

Empat jam kemudian, syuting ruanganpun, selesai. Kami segera rehat untuk makan siang.

Syuting Lapangan

Sore harinya, kegiatan kami teruskan dengan syuting lapangan di hutan mangrove Teluk Awur. Dengan berjalan menyusuri pantai, kami sempat bersendau gurau. Matahari sore terasa sangat akrab menerpa wajah kami. Proses syutingpun dimulai, namun agaknya terjadi kesalahan. Pembawa acara agak lupa dengan teksnya sehingga harus diulang. Setelah diulang beberapa kali (14 kali, euy!), akhirnya didapatkan gambar yang diinginkan.

Selesai syuting pembawa acara, kami mencari Uca sp, untuk difilmkan. Uca adalah kepiting lucu, mereka terdiri dari beragam spesies. Ada 80 spesies Kepiting Laga (sebutan Indonesianya) di seluruh dunia. Warnanya sangat beragam. Semua warna, hampir bisa dipastikan terdapat dikarapasnya yang berwarna-warni bak pelangi.

Disebut juga dengan kepiting pemain biola atau fiddler crab. Disebut demikian, karena gerakan capitnya mirip sekali dengan gerakan pemain biola saat menggesek alat musik itu.

Uca senang hidup di daerah berpasir, yang merupakan habitat favoritnya. Uca adalah kepiting kecil bersapit besar. Kepiting jantan memiliki capit besar sebelah. Sedang kepiting betinanya, mempunyai sepasang capit kecil yang sama.

Uca sering terlihat bersosialisasi di tempat yang panas. Mereka bisa hidup pada lingkungan bersuhu tinggi, karena memiliki kemampuan beradaptasi pada variasi suhu dan salinitas yang lebar.

Uca jantan sering bertarung memperebutkan Uca betina. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh peneliti Australia menunjukkan bahwa mereka juga memiliki pola sosialisasi yang unik. Secara bersama-sama, mereka menjaga satu buah lubang.

Setelah semua proses syuting selesai, kami istirahat sambil bermain balap Uca. Caranya mudah, masing-masing kru harus membuat Ucanya berlari secepat mungkin ke garis finis. Tidak boleh pakai tangan tapi ditiup dengan napas. Permainan ini mengasyikkan sekali, semua kru film menikmatinya.

Udang Pistol

Malam harinya, jam 8 malam. Kami masih melakukan syuting ruangan lagi. Tapi kru film kami terlihat masih sangat lelah setelah syuting lapangan dan mengambil biota siang tadi.

Selesai syuting ruangan, kami meneruskan kegiatan kami dengan kembali ke hutan mangrove Teluk Awur untuk mengambil gambar binatang mangrove lagi. Target kami sekarang adalah Alpheus sp.

Setengah jam kemudian kami sampai di hutan mangrove Teluk Awur. Dinginnya malam tak kami hiraukan, kelebatan ular mangrove semakin merangsang kami untuk bisa segera memfilmkan binatang-binatang mangrove itu.

Di balik akar Rhizophora, kami segera menemukan udang mangrove. Binatang ini dinamakan Udang Pistol (Pistol Shrimp). Dinamakan demikian karena bunyi capitnya seperti tembakan pistol. Disebut juga dengan Snapping Prawns karena suara capitnya seperti petikan jari manusia.

Sesekali dia tampak berhenti dan bersembunyi di balik akar pohon mangrove, pecahan karang atau daun mangrove yang jatuh pada permukaan air, sembari mencari makanan.

Alpheus termasuk binatang yang bisa memakan segala macam makanan. Dalam pengembaraan menyusuri lantai hutan, dia menempati lubang dari hewan mangrove yang telah ditinggalkan penghuninya.

Capitnya yang besar digunakan sebagai alat untuk memegang dan memotong makanan. Capit juga digunakan sebagai alat bantu dalam mendorong lumpur, batuan kecil atau pasir saat menggali lubang. Malam itu, Alpheus betina, terlihat sedang membawa telur-telur berwana hijau pada perutnya.

Di bawah sebuah pecahan batu karang, saya melihat ada kepulan lumpur. Ternyata, seekor Alpheus yang sedang menggali lubang persembunyian.

Dengan kaki renangnya, dia mencoba menyingkirkan batuan kecil dan pasir untuk membangun liangnya. Sesekali dia menggunakan capitnya untuk mendorong batuan.

Saat malam tiba, Alpheus aktif mencari makan menyusuri lantai hutan mangrove. Alpheus sering memainkan capitnya sehingga terdengar suara seperti tembakan pistol. Hal ini dilakukannya untuk menganggu konsentrasi pemangsanya sehingga tak jadi untuk memangsanya. Dia menggunakan hutan mangrove sebagai tempat mencari makan, berlindung, memijah, dan membesarkan anaknya.

Setelah selesai memfilmkan udang mangrove, kami istirahat sebentar sambil berunding untuk kegiatan selanjutnya. Dan setelah semua binatang mangrove kami dapatkan, kami segera kembali ke asrama.

Penutupan
Proses syutingpun selesai. Malam itu kami mengadakan upacara penutupan di teras asrama. Farid sang koki memasak makanan untuk kami. Dia adalah koki yang hebat. Masakannya terasa pas dan nikmat di lidah kami. Dia memasak ikan bakar kecap yang lezat. Semua kru, terbuai dengan kelezatan masakannya.

Pagi harinya setelah makan, kami bersih-bersih ruang simulasi. Secara bergotong-royong, kami membersihkan akuarium, ember dan peralatan kotor lainnya di luar asrama. Setelah beres-beres, salah satu kru kami, mencek peralatan. Dia men-cek ulang, apakah ada peralatan yang hilang selama kegiatan berlangsung.

Syutingpun selesai, sekarang waktunya pulang ke Semarang. Sebelum berangkat, kami berdoa dan meneriakkan yel-yel.

Siang itu, kami kembali ke Semarang. Namun perjalanan kami tidak mulus, di tengah perjalanan, kami sempat tersesat. Ada perbaikan jembatan yang ambrol karena hujan. Dan sayangnya saat memutar arah, sopir kami tak tahu arah jalan ke Semarang.

Namun untunglah, setelah lama berputar-putar di pedalaman Jepara, akhirnya jalan keluar kami temukan, kami sangat gembira. Dua jam kemudian, kami sampai di Semarang kembali.

Proses syuting Mangrove Movie selesai. Setelah ini, kami harus mensortir gambar pada proses editing. Satu harapan kami, semoga hasil film ini bisa dinikmati masyarakat secara luas agar mereka sadar betapa indahnya hutan mangrove beserta binatang-binatangnya.

No comments:

Post a Comment