Bagi saya, buku tersebut lumayan menarik tapi tak terlalu membuat saya begitu terkesima, sehingga perlu untuk membelinya. Teman saya sempat menanyakan mengapa saya tak membeli “buku bagus” tersebut. Saya menjawab sederhana, “Kurang minat. Karena pengalaman dan tragedi yang diceritakan di buku itu, tak beda jauh dengan pengalaman saya yang selama enam tahun terakhir ini, juga hidup dan bekerja di daerah peperangan,” begitu jelas saya.
Memang benar. Bekerja di mangrove adalah bekerja di daerah peperangan yang penuh konflik dan intrik. Bekerja di daerah mangrove adalah juga bekerja di sebuah areal yang sarat dengan nafas kepentingan dan politik. Sebuah peperangan, bisa terjadi berkali-kali di daerah-daerah Pesisir Utara Jawa. Bukan peperangan antara manusia dengan manusia saja, bahkan peperangan antara manusia dengan mangrove-pun sudah sangat sering terjadi. Bagi saya, peperangan di pesisir tak lebih berbahaya dan mengerikan dengan peperangan di medan perang yang dialami oleh jurnalis tersebut.
Namun demikian, peperangan di sini bukan dalam arti pengeboman, penembakan, pembunuhan, penculikan dan perampokan senjata. Peperangan di pesisir adalah peperangan melawan kepentingan, kekuasaan, rebutan lahan, rebutan proyek, penyelundupan uang, pemotongan uang alias korupsi dan peperangan-peperangan khas pesisir lainnya.
Contoh kasus. Di salah satu daerah pesisir di Utara Jawa, pertikaian antar kelompok untuk memperebutkan lahan mangrove dan tambaknya, sampai saat ini masih saja terjadi. Hal ini tak ayal lagi bagaikan sebuah peperangan antar suku yang tak pernah usai. KeSEMaT sudah sempat mempertemukan pihak- pihak yang bertikai tersebut dengan mengadakan sebuah sarasehan mangrove beberapa tahun yang lalu, namun demikian sampai dengan sekarang, riak kecil pertikaian itu, tetap saja ada.
Sementara itu, di pesisir lainnya, mangrove dijadikan obyek oleh manusia untuk mengeruk keuntungan. Di saat proyek masih dan sedang berlangsung, mangrove begitu dianakemaskan, dirawat dan dipelihara. Namun begitu uang sudah tak ada lagi proyek yang datang, mangrove dianaktirikan dan dicampakkan tanpa ada sedikitpun rasa tanggung jawab apalagi belas kasihan..
Selanjutnya, dari sekian banyak peperangan di pesisir, peperangan terbesar yang pernah saya lihat dengan mata kepala saya sendiri adalah perang besar antara manusia dengan mangrove. Manusia-manusia di pesisir Utara Jawa, masih menganggap mangrove adalah musuh besarnya sehingga harus diberantas, diurug, ditebang, dan direklamasi demi memuaskan kepentingan hidup manusia saat ini. Coba Anda lihat foto di atas sana. Itulah sebagian nasib mangrove di Ujung Piring Jepara yang sebagian ditebang untuk kayu bakar dan pertambakan. Tanpa banyak komentar lagi. Mau sampai kapan kita berperang melawan mangrove?
No comments:
Post a Comment