1.3.08

Seri Pembibitan : Bambu Pengganti Polibek Mangrove (?)

Semarang - KeSEMaTBLOG. Ada sebuah email yang masuk ke KeSEMaT. Cuplikan emailnya begini: “Saya mau tanya seputar mangrove, tentang penggunaan bambu sebagai media pengganti polibek.” Email di atas ini, walaupun hanya terdiri dari beberapa rangkaian kalimat, namun sempat membuat kening kami berkernyit. Bambu sebagai pengganti polibek? Apakah mungkin? Bagi Anda yang belum mengetahui polibek, istilah ini berarti sebuah plastik berwarna hitam yang memiliki diameter 5 dan 8 cm. Polibek biasa digunakan sebagai wadah sedimen yang digunakan sebagai media tanam untuk pembibitan mangrove.

Benih-benih mangrove berupa propagul yang telah matang, ditanam di sedimen, yang terbungkus di dalam polibek. Setelah itu, polibek yang berisikan propagul, diatur rapi di dalam sebuah bedeng persemaian yang berkanopi (baca: bertutup) untuk menjalani masa pembibitan.

Anda bisa melihat ilustrasinya pada foto di atas. Foto ini menggambarkan para KeSEMaTERS yang sedang melakukan pembibitan mangrove di bedeng persemaian KeSEMaT yang terletak di Arboretum KeSEMaT di Teluk Awur Jepara, pada saat acara Mangrove Cultivation 2006: Penyuluhan dan Pembibitan Mangrove.

Kembali ke pertanyaan di atas, Sang Penanya ingin mengganti polibek yang terbuat dari plastik dengan bambu (baca: potongan bambu) untuk menampung propagul. Menurut hemat kami, bisa saja hal ini dilakukan, namun akan menjadi sangat tidak praktis. Pada dasarnya, polibek (dari plastik) berfungsi sebagai wadah media tanam benih mangrove, selama mengalami masa pembibitan.

Bahan polibek sengaja dibuat dari plastik, karena sifatnya yang ringan. Hal ini untuk mempermudah pengangkutan bibit, dari tempat pembibitan, menuju ke tempat penanaman (saat masa pembibitan selesai). Anda bisa bayangkan, apabila polibek tersebut terbuat dari bambu, pasti akan sangat menyulitkan kita, saat harus membawanya ke lokasi penanaman. Apalagi, jika lokasi penanaman sangat jauh dari lokasi pembibitan.

Selanjutnya, dari segi biaya, penggunaan polibek bambu juga akan sangat mahal. Sebagai perbandingan, satu buah polibek plastik harganya Rp. 200,-. Apabila kita membibitkan sekitar 3000 bibit mangrove, maka biaya yang dibutuhkan untuk pembelian polibek hanyalah Rp. 600.000,-. Jika dibandingkan dengan penggunaan polibek bambu, harga satu buah polibek bambu diperkirakan Rp. 1000,-, jadi keseluruhan biaya polibek untuk 3000 bibit mangrove mencapai Rp. 3.000.000,-. Sangat mahal!

Apabila ditinjau dari segi keramahan lingkungan, penggunaan polibek bambu bisa menimbulkan masalah lagi, karena untuk mengadakan sebuah program pembibitan mangrove, kita akan menebang banyak bambu. Walaupun memang setelah masa pembibitan berakhir, bibit bisa langsung ditanam ke lokasi penanaman tanpa harus melepas polibek bambu, karena bambu bisa dengan sendirinya terdegradasi.

Sebagai penutup, apabila penggantian polibek ini dilakukan hanya dalam skala penelitian, rasanya bisa saja dilakukan. Hal ini untuk mendukung, memperkuat dan membuktikan hipotesa tentang lebih baik manakah antara polibek bambu dengan polibek plastik. Namun demikian, harus dipikirkan lebih lanjut lagi mengenai kemungkinan aplikasinya dalam skala yang lebih luas. Bukankah hasil dari penelitian adalah untuk mempermudah kehidupan masyarakat? Apabila tidak bisa diaplikasikan, rasanya penelitian itu tak akan ada gunanya.

No comments:

Post a Comment