Kehadiran KeSEMaT dalam forum ini merupakan bentuk konsistensi dalam mengedepankan narasi lokal mengenai perubahan iklim, khususnya yang berdampak pada ekosistem mangrove di pesisir. Bagi KeSEMaT, keterlibatan dalam kegiatan seperti UCA merupakan langkah strategis dalam memperluas jejaring advokasi dan edukasi mangrove berbasis komunitas yang selama ini telah dijalankan melalui berbagai program.
Sdr. Muhammad Faris Rahman (Presiden) yang turut hadir dalam kegiatan ini, menyampaikan pandangannya bahwa keadilan iklim tidak dapat dilepaskan dari keadilan ekosistem mangrove.
“Ketika berbicara tentang keadilan iklim, maka kita juga harus berbicara tentang mangrove,” ujar Presiden. “Ekosistem mangrove adalah benteng alami yang melindungi masyarakat pesisir dari dampak perubahan iklim seperti banjir rob, abrasi, dan kenaikan muka air laut. Namun, ironisnya, masyarakat yang hidup paling dekat dengan mangrove justru sering kali menjadi kelompok yang paling terpinggirkan dalam pengambilan kebijakan,” lanjutnya.
Sdr. Faris menambahkan bahwa beyond boundaries—prinsip kerja yang selama ini dipegang KeSEMaT—menjadi semangat yang relevan untuk terus mendorong partisipasi aktif warga muda dalam gerakan lingkungan yang berkeadilan. Dalam konteks UCA, hal ini diwujudkan melalui keterlibatan anak muda dalam riset lapangan, penulisan narasi keadilan iklim, dan penggalangan aksi warga di tingkat akar rumput.
Lebih jauh, KeSEMaT memandang bahwa kegiatan seperti UCA membuka ruang penting bagi kolaborasi antarkomunitas yang memiliki visi serupa. Melalui diskusi, pameran, dan aksi warga, UCA 2025 mempertemukan gagasan-gagasan kreatif untuk membangun kota yang tangguh dan inklusif terhadap perubahan iklim.
Dalam forum tersebut, KeSEMaT turut menegaskan pentingnya penguatan ekosistem mangrove sebagai bagian integral dari strategi adaptasi dan mitigasi iklim di kawasan pesisir Semarang dan sekitarnya.
“Keadilan iklim adalah keadilan bagi mangrove, dan keadilan bagi mangrove adalah keadilan bagi manusia. Bagi KeSEMaT, mangrove bukan sekadar pohon yang tumbuh di lumpur, tetapi cermin dari hubungan manusia dengan alam,” tambah Sdr. Faris. “Ketika mangrove rusak, maka rusak pula keseimbangan ekologis dan sosial yang menopang kehidupan pesisir. Itulah sebabnya, suara warga pesisir perlu menjadi pusat dari setiap diskusi keadilan iklim seperti UCA ini,” terangnya lebih lanjut.
Kehadiran KeSEMaT dalam UCA 2025 tidak hanya menjadi bentuk representasi gerakan mahasiswa peduli mangrove, tetapi juga wujud nyata kontribusi KeSEMaT dalam membumikan isu iklim melalui perspektif mangrove.
Di tengah derasnya wacana global tentang perubahan iklim, KeSEMaT tetap memilih untuk berpijak pada realitas lokal—menghadirkan suara warga pesisir, menanam pohon mangrove, dan menumbuhkan kesadaran bahwa menjaga mangrove berarti menjaga masa depan kota.
Dengan semangat Mangrove Is Lifestyle, KeSEMaT berharap hasil dari forum ini dapat menginspirasi lahirnya lebih banyak kolaborasi lintas komunitas, sekaligus memperkuat kesadaran publik bahwa keadilan iklim sejatinya bermula dari tepi—dari akar mangrove yang menahan abrasi, hingga dari warga yang menjaga harmoni antara manusia dan alam. (ADM).

No comments:
Post a Comment