31.10.07

Diskusi Mangrove

Rembang - KeSEMaTBLOG. Foto di samping ini adalah para KeSEMaTERS yang sedang melakukan penanaman benih-benih mangrove untuk menyelamatkan pesisir pantai Desa Pasar Banggi Rembang Jawa Tengah dari abrasi. Foto diambil pada tanggal 28 Oktober 2007, pada saat KeSEMaTOUR 2007. Usaha yang didasari semangat konservasi yang tulus serta dilandasi rasa keprihatinan akan semakin menipisnya populasi mangrove di sepanjang Pantai Utara Jawa ini, agaknya kurang mendapatkan perhatian dari para “pemimpin” dan stake holder di Semarang.

Setidaknya, inilah yang saya rasakan pada saat saya bersama dengan KeSEMaTERS diundang dalam sebuah seminar di ibukota propinsi Jawa Tengah tersebut. Begini ceritanya. Baru saja kemarin (30/10), saya mewakili KeSEMaT menghadiri sebuah seminar dalam rangka Pra Rancangan Peraturan daerah (RAPERDA) Kota Semarang Tentang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Kota Semarang (DKP PEMKOT). Selain KeSEMaT, seminar juga dihadiri oleh kurang lebih seratus orang peserta yang berasal dari kalangan akademisi, kelompok nelayan, kecamatan, LSM, yayasan dan instansi pemerintahan dan swasta.

Melalui seminar ini, DKP PEMKOT ingin mendapatkan masukan dari berbagai stake holder yang bergerak dalam bidang terkait untuk bersama-sama menyusun dan memberikan sumbang sarannya, akan hadirnya sebuah PERDA yang nantinya (diharapkan) bisa mengatur segala permasalahan yang berkaitan tentang pengelolaan perikanan dan kelautan di Kota Semarang.

Saya mengakui bahwa seminar berjalan dengan baik. Namun yang saya sesalkan adalah dalam sesi diskusi dan tanya jawab, perhatian para stake holder terhadap ekosistem mangrovenya sangatlah kurang. Walaupun secara tersirat, moderator telah mengindikasikan adanya tata kelola wilayah pesisir di dalam draft RAPERDA, namun dalam diskusi, mangrove sama sekali tak diperhatikan, tak dibahas dan tak tersentuh sama sekali.

Diskusi melulu hanya diarahkan kepada pembahasan alat tangkap, pengolahan perikanan, ekstensifikasi pertambakan, produk-produk unggulan Kota Semarang dan permasalah teknis lainnya yang tak ada hubungannya dengan pengelolaan ekosistem mangrove di Semarang. Padahal, akibat reklamasi, konversi lahan, pertambakan dan pembangunan lainnya, populasi mangrove di Semarang saat ini semakin kritis.

Tak adanya perhatian dari para peserta diskusi kepada mangrove, membuat saya gusar. Kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa hasil perikanan tangkap dan pertambakan di Kota Atlas ini semakin hari semakin menurun, seolah tak membukakan mata mereka untuk mencari penyebab penurunan produksi perikanan dan pertambakan tersebut, melainkan terus saja memfokuskan diri tentang bagaimana caranya agar ikan dari laut dan tambak yang jelas-jelas menurun kuantitasnya, bisa terkeruk lagi, sebanyak-banyaknya. Astaghfirullah!

Adalah sah-sah saja, sebagai manusia kita berusaha untuk terus meningkatkan produksi perikanan demi kehidupan kita. Tapi yang perlu dipikirkan adalah kalau sumberdaya ikannya habis, apalah gunanya peningkatan kualitas produk perikanan tersebut. Orang ikannya tidak ada, apa yang mau ditingkatkan (?).

“Hilangnya” mangrove di Semarang, seolah tak terlalu membuat mereka pusing. Padahal, akar dari semua permasalahan yang mereka hadapi sekarang adalah menurunnya jumlah ekosistem mangrove yang ada. Mengapa produksi tambak mereka menurun? Karena hilangnya mangrove. Mangrove yang sangat berjasa memberikan tempatnya sebagai tempat pemijahan, mencari makan, dan pengasuhan terhadap anak-anak ikan, kini tak ada lagi. Selanjutnya, mengapa hasil perikanan tangkap mereka terus menurun (?), karena mangrove sebagai tempat pemijahan beberapa spesies ikan laut, yang memijah dan membesarkan anak-anaknya di daerah mangrove, tak punya tempat lagi untuk mengasuh, karena tak ada lagi mangrove yang memberikan tempat kepada mereka untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya itu. Kenyataan-kenyataan mendasar seperti inilah, yang sepertinya tidak disadari oleh para peserta seminar, siang itu.

Sayang sekali, betapa penting dan bergunanya ekosistem mangrove dalam mendukung pertambakan dan perikanan tangkap mereka, belum sepenuhnya mereka sadari. Mereka asyik saja merencanakan proyek pengambilan segala sumber daya dari pesisir, tanpa mau menaburnya kembali. Pepatah “Siapa menabur, maka dialah yang akan memanen,” seolah tak berlaku lagi bagi mereka, dan berganti menjadi “Tak usah pikirkan siapa yang menabur, yang penting banyak-banyaklah memanen.”

Saya hanya bisa berharap, di seminar-seminar mendatang, mengingat pentingnya tumbuhan pesisir ini, mangrove akan lebih mendapatkan tempat yang layak lagi, di hadapan para stake holder di Semarang. Dengan demikian, kehadirannya yang sangat penting bagi daya dukung lingkungan pesisir, tak terkesan diacuhkan, dikesampingkan dan tak terlalu digubris, seperti sekarang ini. (IKAMaT).

No comments:

Post a Comment