18.4.08

Not Forest for Rent but We (Must) Rent Forest

Semarang - KeSEMaTBLOG. Aneh-aneh saja manusia itu. Bisa-bisanya kita ini membuat peraturan yang sangat aneh bin ajaib. Forest for rent, itulah “nama” sebuah peraturan yang telah dengan berani kita syahkan menjadi PP No 2/2008. Inti dari PP ini adalah menyewakan setiap meter hutan lindung dan hutan industri, kepada siapa saja, untuk peruntukan tambang dan usaha lainnya. Mau tahu harga sewanya? Hanya seharga tiga ratus rupiah, saja. Murah sekali, ya? Tapi jangan bicara murah atau mahal, dulu. Tindakan penyewaan hutan kepada publik saja, sudah merupakan tindakan “kriminal” kita terhadap alam. Apalagi, kita telah berani memasang tarif untuk tindakan yang tidak semestinya, itu. Sungguh sangat tak bijaksana, dan jauh sekali dari sikap terpuji.

Sebelum adanya PP ini saja, permasalahan hutan kita, terutama hutan pesisir yang bernama mangrove (lihat foto vegetasi mangrove di Arboretum KeSEMaT, di atas), sudah sedemikian parahnya. Tidak disewakan saja, pencurian pasir, pembalakan liar dan kasus-kasus illegal logging lainnya, sudah sedemikian dahsyatnya hingga merusak ekosistem mangrove kita menuju ke arah kehancuran yang permanen. Apalagi, ini nanti akan disewakan untuk umum, yang notabene sang empunya hutan akan memiliki otoritas penuh untuk membalaki hutannya dan merubahnya menjadi tambang, tambak, perumahan dan masih banyak lagi peruntukan lainnya.

Maka, setelah diberlakukannya PP ini, tak tahu lagi akan berapa hektar hutan pesisir yang akan dialihfungsikan. Asal tahu saja, dari tahun ke tahun, hutan pesisir yang seharusnya memiliki fungsi sangat vital bagi manusia sebagai pencegah intrusi air laut, tempat hidup beraneka ragam flora dan fauna penting, pencegah abrasi, dan manfaat penting lainnya, luasannya selalu saja mengalami penurunan.

Menurut data yang dikeluarkan oleh FAO/UNDP (1982), pada tahun 1982 Indonesia memilliki 4.251.000 ha hutan mangrove. Namun pada tahun 1996 areal hutan mangrove ini telah berkurang menjadi 3.533.600 ha. Pengurangan ini terjadi karena perubahan tata guna lahan dan penggunaan sumberdaya alam berlebihan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk di daerah pantai (Kitamura, 1997).

Itu baru di tahun 1996, tahun ini (2008), pastilah luasannya semakin menipis saja, akibat tak bisanya manusia mengontrol populasinya. Bisa dibayangkan, berapa juta hektar lagi hutan mangrove yang telah kita tebang demi sebuah pemukiman kita.

Selanjutnya, keberadaan PP ini, akan semakin mempersulit kehidupan mangrove. Penebangan, seolah-olah dihalalkan asalkan Sang Pengembang mampu menyewa tiga ratus rupiah setiap meternya. Hal ini, akan mempercepat kepunahan hutan pesisir ini.

Padahal, sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang, sebuah komunitas pemuda yang tergabung dalam Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KeSEMaT), berusaha dengan sekuat tenaga untuk merubah lahan mangrove gundul di pesisir pantai Teluk Awur Jepara agar mejadi lebat kembali. Untuk apa? Tentu saja supaya mangrove bisa hidup kembali dan memfungsikan dirinya sebagai sebuah sumber daya yang bermanfaat dan berguna bagi masyarakat dan kehidupan manusia di sekitarnya.

Alhamdulillah, usaha mereka berhasil! Sekitar 1 ha tanah yang dulunya gundul, kini telah berubah menjadi vegetasi mangrove yang lebat. Bahkan, usaha mereka juga telah dianugerahi dengan ADHI BAKTI 2007, yang merupakan penghargaan Gubernur Jawa Tengah bagi LSM yang memiliki kontribusi besar dalam usaha penyelamatan eksosistem pesisir.

Andai saja, hutan-hutan mangrove mereka yang telah lebat dan rimbun ini, tiba-tiba saja disewakan kepada para pengembang nan kaya, apa jadinya nanti? Mangrove akan ditebang, dibabat, dan dirubah peruntukannya. Bisakah Anda bayangkan, berapa besar beban moral dan spiritual, yang akan mereka tanggung? Ini hanya satu contoh saja bentuk kekecewaan yang bisa saja terjadi di hutan pesisir akibat penerapan PP ini.

Di saat ada sekelompok masyarakat yang ingin melestarikan hutan, di sisi lainnya pemerintah seolah menjegalnya dengan memberlakukan sebuah aturan yang tak memihak bahkan tak melindunginya. Sungguh, sangat ironis!

Ada baiknya, kita ini sebagai manusia mencoba untuk bercermin agar kita memiliki sedikit rasa malu dengan lingkungan kita. Apakah Anda sadar, sebenarnya Yang Maha Kaya di atas sana telah memberikan nikmatnya yang begitu besar kepada kita, yaitu lingkungan. Lingkungan telah kita gunakan sebagai tempat kita hidup, berkembang biak, meneruskan keturunan dan mengisi kehidupan kita di dunia.

Selanjutnya, lingkungan yang bernama hutan, juga telah berbaik hati kepada kita dengan menyewakan tempatnya sekaligus melindungi kehidupan kita. Hutan melindungi kita dari krisis air, hutan juga berjasa dalam memerangi pengaruh rumah kaca yang berbahaya.

Jadi, sebenarnya siapa yang menyewa siapa? Kita yang menyewakan hutan kita ataukah hutan-lah yang telah menyewakan dirinya untuk kehidupan kita?.

Setiap hari, kalau dihitung dengan rupiah, seharusnya kita membayar jutaan rupiah untuk menggaji hutan-hutan kita. Apa pasal? Karena hutan telah bekerja dengan baik dalam melindungi kita dari racun karbondioksida yang dimuntahkan pabrik-pabrik yang sewaktu-waktu bisa membunuh kita. Lalu, hutan pesisir kita bernama mangrove itu, juga telah bekerja maksimal dalam melindungi kita dari pemanasan global, gelombang tsunami, abrasi pantai, intrusi air laut ke darat dan perlindungan lainnya.

Kalau saja, untuk 1 mg karbondioksida yang berhasil dibersihkan hutan kita, mereka meminta bayaran 1 juta per harinya, bayangkan saja 30 juta kita akan habis dalam sebulan! Tapi, untunglah hutan itu bisu dan tuli. Mereka tak bisa menuntut gajinya pun berdemo agar secepatnya kita membayarkan gajinya kepada mereka. Dengan demikian, amanlah uang-uang kita.

Melihat fakta ini, masihkah berani dan apakah pantas, apabila kita ini sebagai manusia bersikeras untuk menyewakan hutan-hutan kita itu?

Saudara-saudara. Kalau Anda mau berpikir bijak dan bernalar sehat. Ketahuilah bahwa bukan kita yang berhak menyewakan hutan-hutan kita. Sebaliknya, kitalah yang seharusnya membayar sewa kepada mereka. Karena apa? Karena berkat jasa merekalah kita masih bisa menghirup segarnya oksigen untuk menyambung hidup kita.

Jadi, memang benar. Seharusnya bukan hutan yang harus kita sewakan, melainkan kitalah yang seharusnya menyewa hutan. We are not using forest for rent but we must rent forest for our live dengan bahasa lain not forest for rent but we (must) rent forest.

No comments:

Post a Comment