28.4.08

Mangrove Rusak : Kisah Tenggelamnya Tiga Desa

Semarang - KeSEMaTBLOG. Rasanya, sudah banyak sekali, kami menulis dan menceritakan tentang beraneka kisah pilu di daerah-daerah pesisir. Kini, dengan sedihnya, kiranya kami akan menceritakan lagi, sebuah fakta menyedihkan yang dialami oleh tiga buah desa di tiga buah daerah yang berbeda, di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa. Ketiga desa tersebut bernama Bulak Lama - Jepara, Morodadi - Demak dan Trimulyo - Semarang (lihat foto di samping). Walaupun berbeda lokasi, namun ketiga desa di Jawa Tengah tersebut memilki satu kisah dan sebuah nasib yang sama. Di tahun 2008 ini, karena ulah manusia, ketiganya telah, sedang dan akan segera tenggelam, hilang ditelan lautan.

Desa pertama bernama Bulak Lama. Sebuah desa yang (dulunya) terletak di pesisir pantai Jepara, kini sudah tak terlihat lagi. Desa ini, sudah hilang, disapu gelombang laut nan ganas. Abrasi pantai yang tinggi dan perubahan lahan mangrove menjadi tambak-tambak ikan adalah salah satu penyebab hilangnya desa ini dari permukaan bumi. Mangrove yang seharusnya mampu melindungi warga Bulak Baru dari abrasi pantai, dengan sadar telah ditebangi sendiri oleh mereka. Akhirnya, abrasi terus terjadi dan “menenggelamkan” desa itu ke dasar laut. Kini, desa itu tak ada lagi. Sebagai ganti, sebuah desa baru telah lahir bernama Bulak Baru. Tapi, tak tahu apakah desa ini mampu “berumur panjang.” Yang jelas, di sekelilingnya, konversi lahan mangrove sudah terlihat lagi. Sepertinya, manusia tak memilki kemauan untuk memetik pelajaran pahit dari para pendahulunya.

Desa kedua, bernama Morodadi yang merupakan sebuah desa di Kabupaten Demak. Walaupun belum tenggelam seperti Bulak Lama, namun dalam sebuah acara sarasehan antara warga desa setempat dengan pemerintah, bertajuk Pencanangan Mitigasi Bencana dan Antisipasi Perubahan Iklim Global dan Gerakan Bersih Pantai dan Laut (GBPL), 15 Desember 2007 yang lalu, Bapak Camat (BC) sudah mulia mendesak pemerintah pusat untuk segera memindahkan warganya ke sebuah desa (tempat) yang lebih tinggi. Apa pasal? Karena lautan sudah menggulung sebagian besar rumah warganya dan hanya menyisakan puluhan Kepala Keluarga (KK), saja. Tak hanya perumahan yang hilang, hampir tenggelamnya desa ini, juga menyebabkan banyak penyakit, terasa asinnya air tawar karena intrusi air laut, sulitnya mencari air bersih untuk MCK, rusaknya makam-makam warga dan lain sebagainya. Jika tidak segera dibedol, entah bagaimana lagi nasib KK yang tersisa, di Morodadi ini.

Selanjutnya, desa ketiga adalah desa kecil, yang terletak di Daerah Industri Terboyo Semarang. Desa ini bernama Trimulyo. Walaupun belum tenggelam dan tak ada BC yang menuntut bedol desa, namun apabila melihat fakta di lapangan, dimana sampai dengan akhir April 2008 ini masih saja terjadi konversi lahan besar-besaran di desa ini, maka bisa diprediksi, beberapa tahun ke depan, Trimulyo Semarang akan mengalami nasib yang sama dengan kedua desa sebelumnya. Cermatilah foto di atas, lihatlah betapa mangrove sudah tertebangi dengan sempurnanya. Kalau mau dihitung, hanya tinggal lima puluh batang mangrove saja yang tersisa, berjajar rapi di samping perumahan warga yang masih ada. Selebihnya, lihatlah lautan daratan telah menimbuni lautan air estuaria. Di atas lautan daratan itu, nantinya akan didirikan 3P yaitu Pabrik, Perumahan dan Pergudangan, untuk alasan kesejahteraan umat manusia.

Padahal, kalau warga sana mau belajar dari pengalaman pahit dua desa di Jepara dan Demak, justru dengan pembukaan dan konversi lahan mangrove menjadi peruntukan lainnya seperti ini, akan sangat membahayakan Trimulyo sendiri pun menyebabkan banyak masalah seperti rob, intrusi air laut ke daratan, abrasi pantai yang akan menyerang 3P. Pemerintah setempat yang notabene melakukan konversi ini, pasti juga melupakan fakta bahwa di Bulak Lama dan Morodadi, dulu warganya juga menebangi mangrove, mengurug lahannya dengan tanah, membuatnya menjadi tambak dan perumahan. Mereka melakukan hal yang sama, layaknya di Trimulyo sekarang. Lalu, apa yang terjadi kemudian? Saat mangrove terakhir ditebang, ketika tak ada lagi mangrove yang melindung tambak dan rumah mereka dari gelombang laut nan maha dahsyat, kedua desa tadi tenggelam!

Kita pasti sepakat. Kita juga seratus persen yakin. Walaupun sudah dipaparkan dan diperlihatkan kisah tenggelamnya tiga desa ini, tak akan pernah ada sedikitpun niatan dari kita untuk mau belajar apalagi peduli dengan pesisir kita. Dari semua kisah miris di pesisir yang terus terjadi dan berulang satiap tahun, sepertinya kita tak punya waktu untuk belajar. Jika memang demikian yang kita inginkan, tinggal tunggu waktu saja. Bisa jadi, di tahun 2020, giliran desa pesisir Anda yang tenggelam. Tapi tak apalah, pasti Anda berpikir Anda tak akan merasakannya karena keburu dipanggil Yang Maha Kuasa. Tapi, bagaimana dengan anak cucu Anda?

No comments:

Post a Comment