20.5.10

Belajar Mangrove dari BOROBUDUR!

Magelang – KeSEMaTBLOG. Mempelajari mangrove, ternyata tak hanya bisa dilakukan di daerah pesisir, saja. Sewaktu kami berwisata ke beberapa lokasi wisata di Purworejo, dan terutama di Candi BOROBUDUR (CB) Magelang Jawa Tengah, setidaknya beberapa fakta menarik, seputar sejarah CB, telah berhasil menginspirasi kami, untuk bisa menerapkannya dalam upaya rehabilitasi mangrove di area kerja, kami. Menurut keterangan yang kami lansir dari Wikipedia, bahwa banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini.

Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja mataram dinasti Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa sansekerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.

Tanpa berpanjang lebar, yang menginspirasi dan menjadi perhatian kami sebenarnya adalah pada proses pembangunannya, yaitu “Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad”. Bayangkan saja, proses pembangunan CB begitu lamanya hingga baru bisa diselesaikan setelah beberapa generasi kemudian. Walaupun tidak tahu pasti mengapa pembanguan CB menjadi sangat lama, namun melihat di tahun 2010 ini, CB masih tetap kokoh berdiri, kiranya sang arsitektur kala itu, patutlah kita acungi jempol. Beberapa pekerjaan restorasi yang telah dilakukan untuk semakin memperkuat CB, kiranya tidak lantas mengurangi betapa brilliantnya Gunadharma (yang ditengarai sebagai arsiteknya) dalam melakukan pekerjaannya.

Nah, hal terakhir inilah yang kemudian coba kami renungkan untuk kemudian coba kami terapkan dalam mengelola pekerjaan rehabilitasi mangrove di area kerja, kami. Bekerja detail, lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas dan tidak tergesa dalam menentukan kebijakan dan melakukan setiap program dan proyek mangrove di daerah pesisir Indonesia, semoga saja bisa membuat hasilnya akan berjalan dengan maksimal. Kami hanya ingin bahwa setelah dilakukan program penanaman mangrove, maka selain tingkat kelulushidupannya menjadi optimal, juga kemampuan tumbuh kembang mangrovenya bisa bertahan hingga sepanjang masa, layakknya CB yang tak lekang oleh zaman dan waktu. Semangat MANGROVER!

No comments:

Post a Comment