Daerah estuaria, memang adalah sebuah terminal air, tempat bertemunya air laut dan air tawar. Sayangnya, di daerah inilah, seringkali manusia melakukan reklamasi dengan cara membabat mangrove kemudian mengurug airnya dengan tanah. Air, yang notabene menginginkan terminalnya sebagai tempat singgah, tak dapat lagi menyandarkan dirinya untuk sekedar beristirahat, bercengkerama dengan mangrove sembari melepaskan rasa lelahnya. Jengkel, dengan perlakuan semena-mena manusia, akhirnya dengan sangat terpaksa, hampir setiap tahun, air menumpahkan kemarahannya dengan mengeluarkan sebuah bencana alam tahunannya bernama banjir.
Banjir, seolah tak bisa terelakkan, terus saja terjadi saban tahun. Berbagai upaya telah dilakukan oleh manusia untuk menangkal terjadinya bencana luberan air ini, dengan cara pembangunan tanggul dan pembersihan saluran air dari sampah. Namun demikian, berbagai tindakan pencegahan ini, tak jua menampakkan hasil yang maksimal. Banjir tetap saja datang, menggenangi ribuan rumah dan menghilangkan harta benda serta mata pencaharian manusia.
Pertanyaannya sekarang, kapan banjir bisa berhenti “mencelakai” kita? Apakah banjir bisa dicegah sehingga tak akan datang lagi? Jawabannya bisa. Tapi sayangnya, hal itu bisa kita lakukan dengan syarat yang sangat berat. Apakah syarat yang sangat berat itu? Kita manusia, harus berani hengkang dan mengungsi beramai-ramai dari tempat tinggalnya air, dari estuaria. Selanjutnya, kita juga tak boleh lagi melakukan reklamasi pantai yang makin memojokkan kehidupan mereka.
Sungguh, ini adalah sebuah syarat yang sangat berat, yang tak mungkin bisa dipenuhi oleh manusia seperti kita. Tentu saja, kita yang tamak ini, tak akan mungkin untuk tidak mereklamasi pantai kita. Mengapa? Karena proyek-proyek reklamasi pantai, telah banyak memberikan keuntungan bagi kita. Lihatlah, betapa dengan mereklamasi pantai, milyaran rupiah bisa kita keruk dari bisnis properti, industri, pariwisata dan lain-lain. Setiap saat, terminal air itu terus saja kita timbuni dengan tanah sehingga daerah yang seharusnya menjadi tempat tinggal air, berubah menjadi tempat tinggal kita, manusia.
Selanjutnya, tiap kali banjir tiba, saat itu pula kita mulai menyalahkan banjir sebagai biang kerok kerusakan kehidupan kita. Padahal, kalau kita bijak, anggapan kita ini salah, dan wajib diluruskan. Sebenarnya, bukan banjirnya yang salah. Kitanya sendiri yang keterlaluan. Sudah jelas, kita tahu bahwa tempat tinggalnya air di estuaria, masih saja berani membangun bangunan-bangunan kita di situ. Kalau tempat tinggalnya air di situ, sah-sah saja kalau setiap waktu air datang ke situ. Justru kitalah yang salah, karena telah berani menyerobot habitat air. Kalau sudah begini, siapa biang keroknya?
Jadi, walaupun mau diberikan tindakan pencegahan apa saja, tidak akan bisa mempan. Banjir akan tetap datang kecuali pemukiman kita dibangun di luar “pemukiman” air. Kalau kita masih membangun pemukiman di estuaria, maka banjir akan tetap menggenangi pemukiman kita, karena banjir akan tetap datang ke terminalnya yang telah kita renggut dan kita jadikan rumah-rumah kita.
Kesimpulan, banjir sebagai sebuah agen air, sudah sangat benar memposisikan dirinya sebagai sebuah agen yang meminta haknya kepada kita. Kitalah yang semestinya malu kemudian mengerti akan permintaan mereka tersebut. Kalau kita bijaksana, seharusnya kita ini mau mengembalikan haknya mereka, sekaligus memenuhi tuntutan mereka, agar kita cepat-cepat hengkang dari estuaria.
No comments:
Post a Comment