4.1.08

Para Pialang Mangrove

Semarang - KeSEMaTBLOG. Tanggal 12 Desember 2007 yang lalu, kami diundang oleh British Council Jakarta (BCJ) untuk mempresentasikan beberapa buah program konservasi, penelitian, pendidikan dan dokumentasi mangrove kami, di kantornya yang hangat dan nyaman. Namun demikian, sebuah gedung berukuran sedang, yang berada di lantai 16, kompleks gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) itu, telah sempat membuat kami kebingungan dalam menemukannya. Karena ketidaktahuan kami, pada mulanya, kami mengira bahwa undangan BCJ (pastilah) salah alamat. Apa pasal? Jelas-jelas yang mengundang BCJ, masa alamat kantornya di gedung BEJ, dimana tempat perdagangan saham dan berkumpulnya para pialang (?). Namun, setelah kami cari-cari, ternyata dugaan kamilah yang salah. Mengingat itu, kami menjadi malu sendiri. Ternyata benar, BCJ berada di kompleks gedung BEJ!

Kompleks BEJ, ternyata tak hanya “dihuni” oleh BCJ dan BEJ saja, melainkan banyak kantor perusahaan dan institusi lainnya seperti perbankan, misalnya. Diantara banyak gedung itu, sesuai dengan nama kompleksnya yaitu BEJ, terdapatlah sebuah gedung tempat berkumpulnya pemain saham dan para spekulan yang dengan cerdik dan sangat berani memperjualbelikan saham dengan segala resiko yang ditanggungnya. Gedung itu bernama gedung BEJ.

Para spekulan yang setiap hari bekerja di gedung itu, kiranya sudah sangat hafal dengan dua resiko yang dihadapinya yaitu, “untung dan rugi.” Itulah dua kata yang tampaknya selalu diakrabi oleh para spekulan sehari-hari. Memikirkan para spekulan alias pialang ini, kami tersenyum. Kami senang, karena di gedung inilah, akhirnya kami bisa bertemu dengan teman-teman kami, para pialang yang memiliki nasib dan takdir yang hampir serupa dengan kami.

Kalau tak bisa dikatakan sama benar, setidaknya tata cara dan lika-liku seorang spekulan, sama juga dengan kinerja dan usaha kami di wilayah pesisir. Lihatlah, betapa para pialang itu, memiliki satu hal yang namanya “resiko” untuk untung atau rugi, yang juga kami miliki. Setelah kami melakukan penanaman mangrove, kami juga punya sebuah “resiko” untuk gagal atau sukses. Bedanya, apabila para pialang menyerahkan resiko untung ruginya kepada kondisi pasar saham yang sedang berkembang saat itu, kami para mangrover memberikan resiko gagal dan suksesnya penanaman mangrove kami, kepada kondisi alam yang sedang berlangsung bulan-bulan itu.

Selanjutnya, sebelum memutuskan untuk menjual atau membeli sebuah saham, pialang juga harus tahu benar kondisi pasar termasuk isyu-isyu ekonomi dan politik yang mengemuka saat itu. Demikian pula dengan kami, sebelum melakukan penanaman mangrove, kamipun harus benar-benar memperhitungkan detail keadaan alam, kondisi tanah, salinitas, prediksi ada tidaknya badai dan gelombang dan lain-lainnya, demi kesuksesan penanaman kami.

Setelah semua usaha itu kami lakukan, sambil terus melakukan program-program penyulaman mangrove sembari menyerahkan semuanya kepada Tuhan, kami tinggal menunggu sukses atau gagalnya program penanaman mangrove kami. Demikian pula dengan pialang, setelah semua usaha memainkan saham mereka lakukan, mereka tinggal menunggu keberuntungannya.

Bermain dengan spekulasi dan resiko, adalah hidup kami. Layaknya seorang pialang yang dipuja karena untung dan dihujat apabila rugi, seringkali kamipun dipuja apabila penanaman mangrove kami (di satu periode waktu tertentu) berhasil. Namun, tak jarang pula kami dihujat, apabila pekerjaan penanaman mangrove kami, gagal.

Yang sedikit membedakan kami dengan para pialang saham, tentu saja adalah tempat kami bekerja dan standar hidup kami. Para pialang mangrove seperti kami, tak butuh tempat mewah ber-AC dengan kursi empuk, meja bagus lengkap dengan peralatan komputer dan internet yang canggih layaknya seorang pialang “beneran.” Kantor kami cukuplah berada di sekitar lumpur-lumpur basah, ditemani dengan sebuah gubug bambu tempat berembung dan berteduh, di saat istirahat dari penanaman dan monitoring mangrove.

Selanjutnya, standar hidup kami juga tak terlalu tinggi-tinggi amat. Dalam arti, kalau bekerja, kami tak butuh jas rapi berdasi yang celananya berwarna sama. Kami hanya bemodal sepatu lumpur (bahkan terkadang tak bersepatu), sebuah topi kumal, kaos kotor dan kalau mau beberapa oles sun block, untuk melindungi kulit kami dari sengatan sang mentari yang terkadang marah.

Kemudian soal gaji, tak usah Anda tanya berapa gaji kami, walaupun kami bekerja di lumpur-lumpur yang bau dan jorok (begitu anggapan sebagain orang), honor yang kami terima tak lebih banyak dari rata-rata UMR buruh di Indonesia. Beda jauh dengan teman kami, para pialang saham di BEJ sana.

Ya, itulah hidup kami, para pialang mangrove. Tertarik bekerja seperti kami? Tentu saja tidak, ya. Kami yakin, Anda akan lebih memilih karir sebagai seorang pialang saham, saja. Tapi kalau Anda ada yang berniat menjadi pialang mangrove seperti kami.., ya Alhamdulillah.

No comments:

Post a Comment