2.1.08

Cermang : “Happy New Year, Rhizophora”

Semarang - KeSEMaTBLOG. Tak ayal lagi, setelah menambah kolam pemancingannya menjadi dua puluh buah, restoran Jawa Pak Alex semakin banyak dibanjiri pengunjung. Dalam satu hari saja, ada sekitar tiga ratus orang lebih, yang datang dan pergi mencicipi makanan lezat di restoran mewah tersebut. Pemandangan laut lepas yang memikat, ditambah dengan pesona pernak-pernik Jawa, lengkap dengan musik gamelan yang mendayu-dayu, seolah menjadi daya tarik yang tak ada habisnya. Beberapa pengunjung bahkan sering memuji wajah baru restoran tersebut. “Sangat berbeda, sekarang lebih lengkap dan semakin lezat makanannya. Apalagi pohon-pohon bakau yang dipinggir-pinggir itu, sudah ditebang habis. Makin bagus, deh. Makin rapi. Pemandangan lautnya kelihatan lebih luas dan indah sekali dari sini. Makin romantis,” begitu komentar Bu Ida, seorang PNS asal Semarang.

Sukses mengusung konsep “Tebang Mangrove Lihat Laut Lepas (TML3)” membuat rupiah makin banyak dikeruk dari bisnis rumah makan pesisir ini. Tak heran, sebuah mobil baru, sekarang ini sudah parkir di rumah mewah Pak Alex. Setiap hari, Si Hitam itu, siap mengantar-jemput Rina dan Rini, dua putri bungsu kembarnya, ke kampus.

Keberhasilan konsep TML3 di restoran cabang Semarang, membuat Pak Alex makin yakin kesuksesan penerapan konsep serupa di cabang-cabang lainnya. Dia berencana akan mulai menebangi pohon-pohon mangrove di cabang Demak dalam minggu ini, kemudian berturut-turut di Ungaran, Yogyakarta dan Kendal, pada minggu-minggu berikutnya.

“Akhirnya, Pak Kayam tak bisa mengungguli usaha kita ya, Pak,” kata Bu Alex, di suatu malam, saat bersantai dengan suaminya di teras rumah mewah mereka.

“Tak usah khawatir, Bu. Kayam, tak akan mampu menandingi restoran kita. Dia itu penjiplak murni yang sukanya meniru usaha kita. Dia tak punya konsep sendiri.”

“Benar, Pak. Masa, sekarang ini dia agak meniru-niru konsep kita yang dulu. Dia sekarang ini merubah konsep restorannya menjadi Restoran Mangrove. Kolam-kolam pemancingannya sekarang dikelilingi pohon bakau. Bahkan, dia menamai setiap kolam-kolamnya dengan nama-nama bakau itu. Aneh ya, Pak,” ejek Bu Alex sinis.

“Ya, aku tahu. Kampanye tanam bakau itu juga tak akan ada artinya. Aku tahu konsepnya, Bu. Dia ingin menyaingi kita dengan merebut hati pengunjung untuk sayang lingkungan dan tak menebang bakau, seperti konsep TML3 kita. Dia ingin menghancurkan dan mengejek kita, Bu. Grrr.”

“Aku jijik melihatnya, Pak. Masa, kata Adam, tiap pengunjung yang datang ke sana diberi bibit bakau satu persatu. Lalu, setelah makan, mereka juga diminta untuk menanamnya di sekitar kolam-kolam pemancingan. Itu pemaksaan kepada konsumen. Pak Kayam itu gila!”

Blar. Blarr.

Tiba-tiba kilat dan hujan deras mengguyur bumi. Saking kagetnya, Bu Alex menjerit keras dan memeluk suaminya. Pak Alex yang tahu istrinya phobia dengan kilat dan guntur, segera membawa istrinya masuk ke dalam rumah.

Pet. Beberapa menit kemudian, listrikpun padam.

Bu Alex yang juga takut gelap, kembali berteriak histeris, meminta pembantu-pembantunya mencari dan menyalakan lilin. Malam itu, sehari sebelum Natal, suasana begitu mencekam. Selain Rina, Rini, sepasang suami istri Alex Sastromihardjo dan tiga orang pembantunya, tak ada lagi orang di ruangan itu. Kedua anak mereka lainnya, Adam dan Ardi, ternyata masih terjebak di perjalanan. Berkali-kali, Pak Alex menelepon mereka untuk segera pulang merayakan natal bersama, tapi ponsel kedua putranya itu, tak bisa dijangkau.

Di gelapnya malam, di pojok ruangan, Cemara nampak ketakutan. Angin kencang yang bertubi-tubi menerpa daun-daunnya yang halus, telah berhasil merusak pernak-pernik Natal dan lampu-lampu hias warna-warni, hingga berantakan tak karuan. Daun jendela yang tak tertutup sempurna, berkali-kali membentur dinding dan mengeluarkan suara-suara yang sangat mengerikan.

Cemara berfirasat, akan ada sesuatu yang buruk terjadi dalam beberapa jam ke depan. Di saat kecemasannya muncul, ingatannya melayang cepat ke Rhizophora, sahabatnya, yang kini telah berpulang ke surga. Dengan suara lirih, dia berkata,”Aku merasakan, tak lama lagi akan ada badai dahsyat di pantai. Rhizophora sahabatku, aku baru sadar. Aku baru bisa merasakan. Aku baru tahu, betapa menakutkan dan sulitnya pekerjaanmu menghalau dan menghalangi badai, demi menyelamatkan manusia dan lingkungan sekitarnya. Begitu mulianya tugas dan takdirmu di dunia ini.”

*

Pagi harinya, hujan terus mengguyur dengan derasnya. Tak hanya sehari, bahkan dua, empat sampai enam hari berturut-turut, hujan tak jua kunjung reda. Kota Semarang banjir! Seluruh daerah dari pelosok hingga kota praja, semuanya kebanjiran. Tak hanya di kota, bahkan rumah-rumah di pesisir pantai berikut bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya, semuanya tenggelam. Angin topan, hujan badai dan gelombang pasang, memporak-porandakan pesisir pantai Semarang.

Natal, berakhir kelabu. Tahun baru, juga terancam sama. Namun untunglah, selang beberapa hari direndam banjir, di awal tahun baru, banjir nampak mulai surut di beberapa bagian. Semarang kota mulai bergeliat lagi. Namun demikian, meskipun warga kota sudah memulai aktivitasnya kembali, tidak demikian dengan warga Semarang yang tinggal di daerah pesisir. Banjir masing menggenangi daerah mereka hingga 2 meter. Gelombang pasang juga masih sering terjadi. BMG setempat meramalkan, gelombang dan angin kencang, masih akan terjadi hingga beberapa hari ke depan.

*

Evakuasi warga terus dilakukan. Tim SAR, bersama dengan masyarakat sekitar, bahu membahu mencari dan menyelamatkan korban yang terjebak banjir. Kondisi terparah berada di sebuah kecamatan yang berada persis di tepi laut, dimana tercatat lima puluhan orang tewas dan hilang.

Dua hari setelah tahun baru, ketika menyusuri sebuah lokasi yang ditengarai sebuah restoran mewah yang terendam, tiba-tiba salah seorang tim SAR berteriak, “Berhenti di sana. Itu ada satu korban lagi!” Perahu karet yang berisikan empat orang tim SAR yang mengangkut dua orang korban tewas itu, segera mendekati seorang laki-laki berkumis tebal yang tubuhnya telah membusuk dan membiru. Diduga, laki-laki itu telah tewas selama kurang lebih seminggu. Segera saja, tubuh yang telah menggelembung itu, diangkut ke perahu.

Tim meneruskan perjalanannya menyusuri lautan banjir. Beberapa buah mayat, lagi-lagi ditemukan. Kali ini, dua orang gadis yang hampir mirip dan seorang wanita tua berumur enam puluhan.

*

Dua minggu kemudian, banjir sudah benar-benar surut. Evakuasi warga dan penguburan korban-korban yang tewas dan tenggelam juga sudah dilakukan dengan baik. Di salah satu tempat di pesisir, nampak dua orang laki-laki muda sibuk membersihkan reruntuhan rumah mewah, bersama dengan tiga orang pembantunya. Dua orang laki-laki muda itu ternyata adalah Ardi dan Adam, dua orang putra almarhum Alex Sastromihardjo yang selamat. Memang, Pak Alex dan istrinya serta dua orang putri kembarnya, tewas diterjang gelombang pasang yang terjadi di malam Natal.

Adam, Si Sulung dari keluarga itu dengan wajah sendu, tanda masih berkabung berkata, “Andaikan ada Rhizophora di sana, aku yakin Bapak, Ibu, Rini dan Rani bisa selamat dari gelombang pasang karena dilindungi oleh akar-akar Rhizopora yang kuat. Kalau ada Rhizophora, pasti juga restoran ini masih tegap berdiri. Restoran Pak Kayam terbukti masih utuh terselamatkan dari gelombang pasang yang dahsyat karena banyaknya pohon-pohon mangrove yang mengelilingi kolam pemancingan dan restoran mereka.” Sambil terus membersihkan puing-puing rumah dan restorannya yang luluh lantak tak bersisa, dia sedih memikirkan kelanjutan usaha restorannya di Semarang setelah kematian orang tuanya. Adam dan Ardi, harus meneruskan usaha restoran keluarga mereka, dari awal lagi.

Dari arah belakang, Ardi tiba-tiba berteriak, “Mas Adam, coba ke sini. Ada sesuatu yang aneh.”

Tergopoh-gopoh, Adam menghentikan pekerjaannya dan menuju ke ruang tamu, dimana adiknya berada.

“Ada apa?”

“Lihat, Mas. Lihat pohon cemara Natal kita itu.”

“Ya, ada apa gerangan. Aku tak melihat sesuatu yang aneh, Di.”

“Teliti di daun-daun itu. Walaupun pohonnya rusak dan daun-daunnya berserakan di lantai, tapi lihatlah. Serakan daun-daun cemara itu membentuk sebuah kalimat yang bisa dibaca.”

Adam mencoba lebih teliti memperhatikan daun-daun Cemara. Dengan sapu, dia mencoba menyingkirkan kotoran dan sampah yang berada di sekitar serakan dedaunan itu. Setelah selesai, nampaklah keanehan. Serta merta, Adam membaca sebuah kalimat di lantai, “Happy New Year, …”

“R h i z o p h o r a,” Ardi melanjutkan.

Keduanya berpandangan, tak percaya. Siapa yang membuat ini?

No comments:

Post a Comment