29.10.09

Aneh. Mengapa Tidak Ada Mata Kuliah MANGROVELOGI?

Semarang - KeSEMaTBLOG. Lihatlah foto di samping ini. Ini adalah para pelajar SDN Teluk Awur yang sedang memasuki Mangrove Education Center of KeSEMaT (MECoK) (baca: Pusat Pendidikan Mangrove KeSEMaT) di Teluk Awur, Jepara. Mereka yang berjumlah kurang lebih seratus anak ini, terlihat bersama dengan salah seorang KeSEMaTER yang akan mengajarkan kepada mereka tentang ekosistem mangrove dan segala hal yang berkaitan dengannya. Di MECoK ini, anak-anak bisa bermain sembari belajar.

Kegiatan di MECoK banyak sekali. Mereka bisa dengan leluasa bermain lumpur, menangkap kepiting, bermain kelomang, membibitkan buah mangrove, mengidentifikasi beragam jenis mangrove, menanam bibit mangrove, dan lain sebagainya. Setelah puas bermain-main dan mendapatkan pengajaran mangrove dari KeSEMaTER, maka pantai Teluk Awur yang indah adalah tempat yang tepat bagi anak-anak ini, untuk membasuh tangan dan kaki, membersihkan diri dari lumpur, sembari mandi (bila perlu) dan menikmati indahnya pemandangan Laut Jawa nan mempesona.

Pengenalan mangrove semenjak dini seperti ini, seringkali dilakukan oleh KeSEMaT tak hanya di SD Teluk Awur saja, melainkan juga di SD-SD di Semarang dan sekitarnya. SDN Trimulyo Semarang, sebagai salah satu “proyek percontohan“ pembelajaran mangrove KeSEMaT di tingkat SD, mungkin adalah contoh SD yang para siswanya sudah mengenal dan mengerti mangrove dengan sangat baik. Pengajaran mangrove yang disertai dengan Lomba Gambar Mangrove (LGM), setiap tahun selalu diselenggarakan oleh KeSEMaT di Trimulyo dan terbukti mampu meningkatkan pengetahuan mangrove para siswa di sana.

Walaupun masih sebatas ekstra kurikuler saja, namun kegiatan pengajaran mangrove yang baru bisa diadakan selama seminggu dalam satu tahun sekali ini, terbukti begitu ditunggu dan “dikangeni.” Hal ini, tentu saja menggembirakan, karena kegiatan ini mampu “berbicara banyak” dari segi kualitas.

KeSEMaT sengaja memfokuskan dirinya untuk memberikan pengajaran mangrove kepada siswa-siswi SD, karena mereka relatif masih memiliki pola pikir yang jernih tanpa kontaminasi pemikiran politik, ekonomi dan berbagai pemikiran lain lainnya, yang pada akhirnya bisa mengaburkan penyerapan ilmu mangrove yang diajarkan.

Selain itu, tujuan pengajaran mangrove ke siswa-siswi SD ini, tentu saja untuk memperkenalkan ekosistem mangrove kepada anak-anak, sehingga diharapkan sedari kecil mereka sudah mendapatkan asupan pengetahuan mangrove yang cukup. Hal ini dirasa sangat penting, karena begitu besar nanti, anak-anak ini sudah tidak akan mendapatkan pelajaran mangrove lagi, karena di kurikulum SMP, SMA bahkan perguruan tinggi sekalipun, mangrove memang tidak (pernah) diajarkan, lagi.

Sistem pendidikan di negara kita, memang belum memberikan tempat yang layak bagi pengetahuan mangrove untuk bisa tumbuh dan berkembang. Jangankan di SD, di universitas yang memiliki fakultas dan jurusan “bertema” pengelolaan pesisir-pun, mata kuliah MANGROVELOGI tidak pernah ada, kecuali METEOROLOGI. Mengingat hal ini, bagaimana mungkin masa depan mangrove di negara yang sebenarnya merupakan salah satu negara yang memiliki luasan mangrove terbesar di dunia ini, akan menjadi lebih baik? Aneh sekali. Mengapa tidak ada mata kuliah MANGROVELOGI di negara yang penuh dengan mangrove, ini?

Tak adanya sarjana-sarjana mangrove yang memiliki pengetahuan mangrove yang cukup apalagi mumpuni, adalah salah satu hal dari sekian banyak hal yang menyebabkan program-program rehabilitasi mangrove dan pesisir di Indonesia seolah “tercecer” dan terus menerus mengalami kegagalan. Pengelolaan mangrove yang selama ini diterapkan di Indonesia, tak ubahnya hanyalah pengelolaan mangrove yang bersifat proyek belaka tanpa memikirkan konsep pendekatan ekologi dan ekosistem mangrove secara lebih santun.

Selanjutnya, pandangan dari beberapa pihak yang (masih saja) memiliki pemikiran holistik dan memandang mangrove sebagai satu kesatuan dengan ekosistem pesisir lainnya, bersama padang lamun dan karang, seharusnya tidak lantas mengubur pengetahuan mangrove sehingga tidak mampu “bernafas” dengan leluasa. Justru, pandangan dan konsep “satu kesatuan” seperti ini, seharusnya mulai bisa dipandang sebagai sebuah konsep yang wajib-bisa diadopsi di masing-masing lokasi.

Di Indonesia yang notabene (sejatinya) adalah “negara mangrove,” konsep holistik wajib memberikan ruang yang lebih lebar lagi, bagi pengetahuan mangrove untuk bisa ditumbuhsuburkan. Jika tidak, maka percayalah bahwa program-program rehabilitasi mangrove di Indonesia akan “terus begini,” sehingga tidak akan mampu menanggulangi laju kerusakan mangrove yang semakin hari semakin meninggi.

Sebagai kata akhir, jika di tingkat perguruan tinggi saja, mata kuliah MANGROVELOGI tidak pernah ada dan atau diadakan, maka janganlah terlalu berharap akan masa depan mangrove Indonesia yang lebih baik. Mungkin, ada baiknya juga agar MANGROVELOGI tidak usah diajarkan di tingkat universitas, tetapi dimasukkan saja kedalam kurikulum SD-SD pesisir, agar penyerapan pengetahuan mangrovenya bisa berjalan secara maksimal. Nantinya, MANGROVELOGI bisa diadopsi sebagai sebuah mata pelajaran baru, bernama IPM – Ilmu Pengetahuan Mangrove. Salam MANGROVER!

No comments:

Post a Comment