Tak cuma itu, hasil tebangan itu, secara egois pula telah kita jual demi kepentingan hidup kita sendiri. Tak salah memang, apabila kita memanfaatkan alam. Toh, Bos kita yang ada di atas sana, sangat bermurah hati untuk memberikan segala kekayaan alam yang ada di bumi ini untuk kita ambil dan kita manfaatkan. Tapi salahnya, kita ini sering serakah. Berani menebang tapi sama sekali tak ada niatan untuk menanamnya kembali. Ironisnya lagi, kita ini masih saja tertawa-tawa melihat kondisi mangrove yang telah rusak di pesisir, tanpa mau sedikitpun untuk membantu merehabilitasinya. Memang, kita ini spesies makhluk hidup, yang sama sekali tak tahu malu terhadap alam!
Kembali ke masalah 70 ribu, tadi. Untuk mengeluarkan uang dalam sebuah kegiatan konservasi mangrove yang berjumlah Rp. 70.000,-, kita ini masih saja protes. Terlalu mahal, itulah alasannya. Padahal, uang segitu itu, murni akan kita sumbangkan untuk memperbaiki lingkungan mangrove di pesisir pantai kita. Kalaupun dianggap mahal, marilah kita perinci. Lembaran kertas Rp. 70.000,- itu akan kita gunakan untuk membeli polibek, membeli ajir, mendatangkan pembicara, dan selebihnya untuk menjamu diri kita sendiri dengan berbagai fasilitas “mewah” seperti akomodasi, transportasi, sertifikat dan lain-lain.
Selanjutnya, apabila kita ini sadar. Uang 70 ribu itu, tak akan ada artinya sama sekali apabila dibandingkan dengan perbuatan semena-mena kita terhadap mangrove, yang jika dinominalkan, sudah pasti jumlahnya akan mencapai trilyunan rupiah. Marilah kita mencoba berkaca dari fakta ini: setiap hari, sudah berapa kilogram sampahkah yang kita buang ke sungai yang kemudian mengendap di akar-akar mangrove? Apakah mangrove pernah protes? Padahal, sampah-sampah yang kita buang itu, telah mengotori habitat mereka.
Apabila mangrove mau memperkarakan “tindakan kriminal” kita ke pengadilan, tentulah kita ini akan diganjar dengan hukuman puluhan juta rupiah plus penjara beberapa tahun. Sebagai ilustrasi, tarohlah untuk satu lembar sampah plastik, mangrove meminta ganti rugi sebesar Rp. 1000,-. Maka, untuk ratusan buah sampah plastik yang telah kita buang setiap hari, yang telah mengotori rumahnya mangrove, kita harus membayar lebih dari Rp. 70 juta per bulan!
Sebagai tambahan, mangrove yang telah dengan setia menjaga perumahan kita dari bahaya abrasi dan tsunamipun, tak pernah meminta uang satu peserpun dari kita. Padahal, apabila mau, mangrove bisa saja menuntut gajinya kepada kita. Apabila untuk setiap satu sentimeter tanah/tahun yang mampu dijaga oleh mangrove dari bahaya abrasi, mangrove mematok harga Rp. 12.000.000,-, maka tekorlah kita! Apa pasal, karena setiap satu bulan, masing-masing dari kita harus merogoh kocek Rp. 1.000.000, untuk menggajinya! Tapi untungnya, mangrove itu tak bisa bicara. Dia bisu. Jadi, setiap teriakan dan demo tuntutan gajinya kepada kita, tak terdengar. Dengan demikian, amanlah juga uang dua belas juta kita!
Mencermati ilustrasi dan contoh ini, dan belum lagi ilustrasi dan contoh tindakan kriminal kita terhadap mangrove lainnya, marilah kita merenung. Apa masih pantas, jika kita ini memprotes harga Rp. 70.000,- itu, yang notabene akan digunakan di setiap kegiatan konservasi, demi menyelamatkan mangrove di pesisir kita? Kalau masih, memang benar, kita ini manusia yang sangat-sangat pelit dan benar-benar sangat tidak tahu malu, dengan alam pesisir kita!
No comments:
Post a Comment