Kami sengaja menerapkan konsep “penyusupan” dalam memberikan kampanye mangrove kami, kepada mereka. Kami mengikuti Arisan Bapak-bapak (lihat foto di atas) dulu, sebelum akhirnya kami diberikan waktu sampai dengan dua jam penuh, untuk memberikan kampanye mangrove kami bertema “Kerusakan Mangrove di Trimulyo Genuk.” “Penyusupan” ini, kami rasa lebih efektif daripada kami harus mengundang dan mengumpulkan mereka di suatu tempat di siang hari. Selain lebih akrab, penyampaian materi berupa presentasi dan film mangrove hasil produksi KeSEMaT dengan Rekan-rekan mahasiswa 9NAGA Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (UNDIP), tentunya akan lebih mudah dimengerti dan dipahami. Untuk menunjang presentasi kami agar lebih hidup dan atraktif lagi, dari Kantor KeSEMaT, kami membawa seperangkat peralatan pemutar film dan presentasi lengkap (seperti LCD, LAPTOP dan SOUND SYSTEM-nya).
Setelah kami selesai memutar film dan mempresentasikan slide-slide tentang kerusakan mangrove di daerah mereka, kami selanjutnya berhadapan dengan sebuah gempuran pertanyaan dan wacana tata cara rehabilitasi mangrove dari para Bapak, ini. Untuk menghadapinya, kami berusaha menanggapi kengototan para Bapak nelayan ini, yang seratus persen “mengharuskan” penggunaan benih dalam setiap kali melakukan penanaman di daerah pesisir, dengan sabar. Dengan dalih daya adaptasi benih akan lebih cepat daripada bibit, berulang kali mereka menyarankan kepada kami, untuk mempergunakan benih saja, dalam pelaksanaan MANGRES 2008. Selain itu, mereka juga menambahkan bahwa berulang kali proyek (bukan program) penanaman yang telah mereka lakukan, menunjukkan bahwa walaupun banyak yang mati, benih tetap lebih baik daripada bibit.
Kengototan Bapak-bapak ini, sempat membuat kami khawatir (atau curiga). Kami hanya sedih, apabila sebuah peristiwa “buruk” di Aceh, juga sedang melanda para Bapak, ini (semoga kecurigaan kami salah). Para oknum nelayan dan tenaga penanam bibit-bibit mangrove, bersikukuh meminta kepada Pimpinan Proyek Rehabilitasi Mangrove di Aceh, untuk menggunakan benih daripada bibit mangrove. Usut punya usut, ternyata kengototan ini, berhubungan dengan faktor uang. Kok bisa? Ya, karena apabila semakin banyak benih yang berhasil ditancapkan dalam sehari, maka dalam sehari pula, mereka akan semakin banyak mendapatkan upah. Apa pasal? Karena pembayaran upah penanaman, memang dihitung per satu benih atau bibit yang ditanam, per hari. Jadi, semakin banyak mereka bisa menanam dalam sehari, maka semakin banyak pulalah uang yang bisa mereka “keruk.”
Mengapa mereka “menolak” menanam bibit? Karena selain berat, sudah berakar dan berpolibeg, untuk menanam satu bibit saja, dibutuhkan waktu dan tenaga ekstra besar. Belum lagi, mereka harus memasang ajir juga, dan kemudian wajib mengikatkannya ke bibit-bibit agar bibit tak tumbang diterjang gelombang. Kesimpulannya, terlalu ribet dan banyak makan waktu. Pun, upah yang didapatkan tak akan sebanding dengan pekerjaan berat yang mereka kerjakan. Mengapa? Karena, dengan sedikitnya jumlah bibit yang bisa mereka tanam, maka semakin kecil pulalah pendapatan mereka dalam sehari.
Dari dua “kisah” ini bisa disimpulkan bahwa (1) kalau menggunakan benih, maka benih akan cepat tertanam sehingga menghemat waktu, tenaga dan memperbanyak upah. Sebaliknya, (2) apabila memakai bibit, maka penanaman bibit akan memakan waktu lama, menghabiskan banyak tenaga, dan uang yang didapatkan juga akan semakin sedikit. Orang manapun (yang kurang memiliki jiwa konservasi), tentu saja akan memilih poin 1. (Bagaimana dengan Anda?)
Pengalaman kami di Genuk-Semarang sendiri, sewaktu melakukan program Mangrove Conservation (MANGCON) 2007: Penyuluhan, Penanaman dan Penyulaman Mangrove, menunjukkan bahwa kelulushidupan bibit-bibit mangrove jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan benih. Bahkan, daya adaptasinya terhadap lingkungan juga bisa cepat sehingga dalam satu tahun umurnya, bibit-bibit mangrove sudah bisa bertumbuh kembang dengan baik, dengan kelulushidupan mencapai 80%. Pun, buku-buku rehabilitasi mangrove yang ditulis oleh berbagai peneliti, praktisi dan ahli mangrove juga mengemukakan bahwa kelulushidupan bibit mangrove, jelas lebih tinggi daripada benih. Teori dan pengalaman kami ini, tentunya sangat bertolak belakang dengan wacana dan pengalaman Bapak-bapak nelayan, ini.
Namun, teori tentu saja tak selamanya cocok dengan praktek di lapangan. Berusaha sedikit membenarkan “teori” para Bapak, bahwa KeSEMaT-pun juga seringkali menggunakan benih dalam melakukan usaha rehabilitasi mangrove di pesisir. Di Jepara contohnya, program Mangrove REpLaNT (MR) yang setiap tahun diadakan oleh KeSEMaT di Teluk Awur, juga menggunakan benih sebagai “bahan mentahnya.” Hasilnya? Antara benih dan bibit, kedua-duanya bisa berkembang biak dengan baik bahkan keduanya memiliki kelulushidupan sempurna, yaitu 100%!
Keberhasilan ini, tak lepas dari hasil proses-pra survei sebelum penanaman yang telah bisa diimplemetasikan dengan baik oleh para KeSEMaTERS. Kondisi lokasi penanaman mangrove yang tenang dan cenderung terlindung, dengan gelombang laut yang kecil, plus pola pemeliharaan serta penyulaman mangrove yang benar, adalah beberapa sebab mengapa benih dan bibit mangrove bisa berkembang biak secara maksimal, di Teluk Awur, Jepara.
Penekanan informasi seperti inilah, yang coba kami bagikan kepada para peserta arisan. Bahwa menggunakan benih atau bibit, sebenarnya tak usah terlalu banyak diperdebatkan. Toh, hasil penanaman benih dan bibit mangrove di setiap lokasi, di berbagai daerah menunjukkan adanya sebuah variasi. Artinya, terkadang benih bisa tinggi kelulushidupannya, tapi tak jarang juga bibit memiliki tingkat hidup yang tak juga rendah. Sebuah komitmen untuk menjaga dan memelihara benih dan bibit mangrove-lah yang sebaiknya lebih perlu didiskusikan. Tak peduli menggunakan benih atau bibit, tapi kalau manajemen pemeliharaan dan penyulaman mangrovenya buruk, akan sama saja. Jika pola monitoringnya buruk, kelulushidupan benih dan bibit mangrove, tentunya akan menjadi sangat minimalis, pula. Selanjutnya, kami juga mencoba memberikan penjelasan mengenai sebuah sikap bijaksana untuk tak boleh seratus persen memaksakan diri harus menggunakan benih saja, melainkan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lokasi penanaman.
Arisan Bapak-bapak berlangsung mulai dari pukul 19.00 WIB. Setelah jam dinding menunjukkan pukul 21.30 WIB, kami akhirnya undur diri. Merasa bahwa kami telah memberikan penjelasan yang berimbang, akhirnya kami berpamitan kepada mereka, seraya memohon dukungan dan partisipasi para nelayan di setiap program-program mangrove KeSEMaT, yang dalam beberapa tahun mendatang akan gencar sekali, diimplementasikan di wilayah mereka, ini. Akhirnya, sebuah kesepakatan bersama untuk saling mendukung dan bekerjasama dalam menyelamatkan pesisir pantai Trimulyo Genuk, tercapai sudah. Kini, praktek lapangan-lah yang kiranya perlu dilakukan. Mari kita bersama, menyelamatkan ekosistem mangrove di pesisir Trimulyo. SEKARANG!
mungkin terlalu ilmiah, tapi tolong diperhatikan penggunaan istilah benih,biji,kecambah atau propagule...
ReplyDelete