Semarang - KeSEMaTBLOG. Melihat sebuah fakta tentang semakin mengganasnya kerusakan mangrove di Indonesia dan dunia, ada sebuah pemikiran dari beberapa KeSEMaTERS untuk mulai mencoba merintis pengeluaran Sertifikasi Mangrove-Safe (MS), layaknya Dolphin-Safe (DS). Apabila DS diperuntukkan untuk melindungi kepunahan ikan Lumba-lumba (Dolphin), maka MS akan dipergunakan oleh KeSEMaT sebagai sebuah jaminan bagi perusahaan tambak-udang agar mau dan mampu melindungi daerah mangrove-nya.
Sebagai informasi, latar belakang diberlakukannya DS sendiri adalah adanya sebuah keprihatinan yang luar biasa dari para aktivis Lumba-lumba di dunia akan terancamnya populasi mamalia laut ini, pada saat para produsen Tuna menangkap Tuna-tuna mereka. Seperti diketahui, ikan Tuna adalah makanan pokok Lumba-lumba. Nah, disaat proses penangkapan Tuna di laut inilah, terkadang para penjaring Tuna seringkali menangkap Lumba-lumba sehingga membahayakan populasinya.
Sebuah peraturan untuk tidak lagi menggunakan jaring lagi kecuali alat pancing, di dalam menangkap Tuna dengan tujuan untuk melindungi populasi Lumba-lumba, sudah lama disepakati dan dipatuhi oleh para produsen Tuna. Namun demikian, sebuah kekhawatiran dari para aktivis Lumba-lumba akan terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan peraturan ini di lapangan, telah membuat para aktivis tersebut menginisiasi lahirnya sertifikasi standart yang menunjukkan bahwa produsen Tuna benar-benar tidak menangkap dan atau menyakiti Lumba-lumba pada saat memancing Tuna.
Lahirnya institusi DS di berbagai belahan dunia, bagaikan sebuah angin segar dalam upaya penyelamatan Lumba-lumba dari kepunahan. Menurut Earth Island Institute (www.earthisland.org) sebuah LSM Internasional yang bergerak dalam bidang penyelamatan lingkungan hidup termasuk penyelamatan mamalia laut yang berkedudukan di San Francisco Amerika Serikat, sejak diwajibkannya sertifikasi DS bagi setiap produsen Tuna di berbagai belahan dunia, persentase kematian Lumba-lumba dalam sepuluh tahun terakhir telah menurun tajam hingga 97%! Sungguh sebuah upaya luar biasa dalam penyelamatan mamalia laut ini, dari kepunahan.
Berangkat dari pemikiran yang sama, untuk menyelamatkan hutan mangrove dari pembalakan para pengusaha pertambakan udang, maka kehadiran MS dirasa sangatlah perlu untuk melindungi daerah mangrove dari kerusakan dan kepunahan. Adalah sebuah hal yang tak terbantahkan lagi bahwa setiap kali pertambakan udang dibuka, maka pada saat itu jugalah berjuta-juta lahan mangrove ditebas. Maka, dengan kehadiran MS, diharapkan mampu untuk menekan perilaku nakal para perusahaan pertambakan udang, agar lebih bijaksana lagi dalam mengelola ekosistem mangrovenya dengan cara melakukan program-program penanaman mangrove, di sekitar area pertambakannya.
Selanjutnya, sebuah kesadaran dari para konsumen udang untuk tidak mau mengkonsumsi udang apabila tidak memiliki sertifikat MS, kiranya harus mulai digalakkan dan disosialisasikan bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Sikap bijaksana para konsumen Tuna yang tidak mau mengkonsumsi Tuna, apabila tidak terdapat sertifikasi DS di setiap produk Tuna dan turunannya, kiranya patut dijadikan suri tauladan.
Apabila para konsumen udang telah memiliki sebuah semangat yang sama untuk tidak mau mengkonsumsi udang tanpa adanya sertifikasi MS di setiap kemasan udang dan turunannya, maka di masa depan, persentase kerusakan mangrove bisa jadi bisa ditekan layaknya Lumba-lumba. Pertanyaannya sekarang, bagaimana teknis dan realisasinya?
Secara teknis, setiap perusahaan pertambakan udang di seluruh Indonesia dan dunia harus diwajibkan memiliki sertifikat MS terlebih dahulu. Sertifikat ini akan menerangkan kepada para konsumen “pemakan udang” bahwa perusahaan udang tersebut telah mematuhi dan melaksanakan peraturan standart yang ditetapkan oleh institusi MS. Artinya, udang telah aman dikonsumsi oleh para konsumen, karena produsen udang telah bertindak adil terhadap mangrove dengan cara melakukan program penanaman sebagai kompensasi hilangnya beberapa hektar lahan mangrove yang dijadikan area pertambakan.
Sejatinya, tak hanya kompensasi penanaman saja yang harus dipatuhi oleh para perusahaan pertambakan udang. Masih banyak syarat lagi yang wajib dipatuhi seperti pelaksanaan sistem silvofishery (penanaman mangrove di pematang tambak) secara baik dan benar. Tiga konsep silvofishery yang mengatur tentang persentase mangrove yang harus lebih banyak daripada area pertambakannya, juga benar-benar wajib diperhatikan secara cermat untuk bisa dituangkan dalam SOP di setiap institusi MS.
Setelah SOP MS bisa dikembangkan, tantangan berikutnya adalah bagaimana caranya agar semua stakeholder yang berperan dalam industri udang bisa berkumpul dan duduk bersama untuk menyepakati kebijakan yang tertuang dalam SOP MS. Sebagai contoh, sejak DS mulai dikembangkan pada tahun 1990 oleh Earth Island Institute, sampai dengan sekarang SOP-nya telah diadopsi oleh kira-kira 300 perusahaan ikan tuna, pabrik makanan kaleng, asosiasi-asosiasi eksportir dan importir, toko-toko dan rumah makan-rumah makan di seluruh dunia.
Demikian, sebuah pemikiran bagi lahirnya sertifikasi MS dari KeSEMaT, yang logonya juga sudah kami desain seperti gambar di atas. Semoga bisa menjadi sebuah wacana dan pemahaman baru bagi kita. Namun demikian, masih banyak tantangan dan hambatan untuk merealisasikan MS, ini. Sebuah pemahaman dari beberapa pihak yang berpendapat bahwa kehadiran mangrove tidaklah diperlukan untuk meningkatkan produksi udang di area pertambakan, kiranya patut menjadi catatan tersendiri. Salam MANGROVER!
No comments:
Post a Comment