Semarang - KeSEMaTBLOG. Pada saat melakukan monitoring program pembibitan mangrove yang telah dilakukan oleh para anggota kelompok tani petambak dan nelayan di Desa Tapak Semarang, beberapa hari yang lalu (lihat foto di samping), kami menemukan beberapa permasalahan seputar program pembibitan propagul mangrove yang telah mereka jalankan. Setidaknya, kami mencatat ada tiga buah permasalahan, yaitu (1) letak lokasi pembibitan, (2) hama dan (3) isyu monokultur.
Untuk permasalahan pertama, yaitu letak lokasi pembibitan propagul mangrove, ada kekhawatiran dari sebagian dari mereka bahwa peletakkan lokasi pembibitan adalah di lokasi yang salah. Adanya kendala dana dan biaya dalam pembuatan bedeng-bedeng persemaian dengan menggunakan naungan dari ijuk, telah “memaksa” mereka untuk mengadopsi teknik persemaian yang telah berhasil dilakukan oleh Kelompok Tani Desa Pasar Banggi Rembang, pimpinan Bapak Suyadi, yaitu hanya menempatkan propagul mangrove - yang telah ditanam di polybag - di badan air dengan memanfaatkan naungan dari dedaunan mangrove yang tebal dan pepohonan mangrove yang rindang.
Kekhawatiran mereka ini, kami jawab dengan sebuah kalimat “tak mengapa.” Pemilihan lokasi pembibitan propagul mangrove seperti di atas, tidak lantas akan mematikan propagul-propagul Rhizophora yang telah mereka bibitkan. Seperti penjelasan di atas, bahwa Bapak Suyadi, salah seorang pelopor pelestarian mangrove di Indonesia yang telah dianugerahi sebagai seorang individu perintis lingkungan oleh Menteri Lingkungan Hidup-pun, nyatanya telah juga menerapkan konsep ini di pesisir Rembang, dan berhasil. Selanjutnya, kami menambahkan pula bahwa yang terpenting dalam pembibitan mangrove adalah (1) frekuensi perendaman pasang surut, (2) salinitas dan (3) keberadaan kanopi (baca: naungan). Kami telah mengukur ketiganya, dan hasilnya adalah (1) pasang surutnya terjadi dua kali dalam sehari, (2) salinitasnya juga cocok dengan jenis yang dibibitkan (Rhizophora spp), dan (3) naungannya, walaupun tidak menggunakan bedeng dengan ijuk, persentase penutupannya ideal, berkisar antara 50% - 75%.
Permasalahan kedua yang kami temukan adalah hama. Walaupun belum menyerang puluhan ribu propagul yang telah dibibitkan - mengingat usia pembibitan baru dua mingguan -, namun demikian melihat anakan mangrove yang berada di sekitarnya telah terserang hama ulat dan scale insect, tentu saja hal ini juga tak ayal membuat para anggota kelompok tani resah. Memang, satu permasalahan yang sangat mengganggu pertumbuhan bibit mangrove adalah adanya ulat mangrove yang kemudian menyebabkan daun-daun mangrove berlubang, layu dan jatuh ke tanah. Sebuah rencana untuk memberantasnya dengan menggunakan insektisida, saat ini masih menjadi wacana untuk diujicobakan. Selain ulat, hama lainnya, yaitu scale insect yang juga ditemukan di MECoK kami di Teluk Awur - Jepara, kiranya juga bisa ditemukan di sini.
Perlu diketahui, bahwa dua hama ini adalah dua hama khas dan paling dominan yang kami temukan selama perjalanan kami bekerja menyusuri kawasan mangrove di pesisir pantai Kecamatan Tugu Semarang. Hampir di semua wilayah Tugu, kami jumpai dua hama ini. Dan, untuk penanggulangannya, masing-masing wilayah memiliki teknik dan tata caranya sendiri. Di Tugurejo, misalnya. Para petambak di sana sepertinya tidak terlalu memusingkannya dengan cara membiarkan hama ulat, karena sudah diketahui bahwa setiap tahun, siklus serangan ulat ini pasti terjadi dan menyerang bibit-bibit mangrove muda berusia tiga bulan sampai dengan satu tahun. Menurut mereka, serangannya yang hanya terjadi beberapa waktu saja, tak terlalu menyebabkan kematian bibit mangrove secara massal. Selain itu, mereka juga membasmi hama ini tanpa menggunakan insektisida melainkan hanya mematikannya dengan cara mengambilnya dari daun-daun mangrove secara satu persatu.
Selanjutnya, permasalahan ketiga adalah adanya isyu monokultur yang saat ini sedang mengemuka dan banyak ditentang oleh sebagian para aktivis mangrove di Indonesia dan dunia. Program-program rehabilitasi mangrove yang dijalankan saat ini, memang seringkali hanya mempergunakan satu atau dua spesies mangrove saja. Untuk itulah, untuk keanekaragaman hayati, tentu saja konsep monokultur seperti ini sangat tidak baik. Maka, dalam program pembibitan mangrove di Desa Tapak, kami juga menyarankan kepada kelompok tani untuk tidak menganut konsep monokultur tetapi lebih memilih polykultur. Penambahan jenis mangrove yang dibibitkan, yaitu Rhizophora stylosa dan R. apiculata selain R. mucronata yang memang telah dibibitkan, tentu saja akan memperkaya spesies mangrove yang ada di sana. Direncanakan, untuk jenis R. apiculata yang memang tidak ditemukan di Tapak, KeSEMaT akan mengimpornya dari MECoK KeSEMaT, di Teluk Awur Jepara.
Ketiga permasalahan di atas, tentu saja kami harapkan tidak akan menjadi sebuah batu sandungan bagi upaya rehabilitasi mangrove dalam proyek rehabilitasi mangrove hasil kerjasama KeSEMaT, Yayasan BINTARI dan FoE Jepang, ini. Justru, segala permasalahan yang ada tersebut, kami harapkan bisa semakin memperkuat semangat warga pesisir Desa Tapak untuk bekerja secara bersama-sama bersama dengan kami dalam upaya menyelamatkan rumah dan tambak mereka dari ancaman abrasi laut yang mengerikan. Salam MANGROVER!
No comments:
Post a Comment