Jakarta - KeSEMaTBLOG. “Cintailah produk-produk Indonesia,” slogan ini tentu tak asing lagi bagi sebagian telinga masyarakat Indonesia. Kita telah diajak untuk mencintai produk-produk Indonesia oleh iklan itu sedari dulu, namun belum tentu juga kita lantas jadi cinta dan membeli apalagi memakainya sekarang. Seharusnya, slogan tersebut sedikit diubah, menjadi “Belilah produk-produk Indonesia,” maka dengan begitu tidak hanya mencintai saja, namun kita juga akan membeli dan memakainya.
Saat ini, banyak kreator-kreator muda berlomba-lomba untuk menghasilkan produk asli dan khas daerah masing-masing. Berjuang dan bersaing dengan produk-produk impor yang makin hari makin marak. Jika tak bisa membuat produk yang “menonjol” tentu tak akan dilirik oleh konsumen.
Namun, hal itu tak membuat Cahyadi (Owner Batik Bakau) lantas kehabisan ide kreatif. Siapa sangka, hanya bermodalkan bahan limbah dari alam, Cahyadi (KeSEMaT X - red) mampu menyabet gelar terbaik kedua setelah mengalahkan 10 Grand Finalis lainnya, dalam ajang HiLo Green Leader 2015, tadi malam.
Mewakili Jawa Tengah, pria yang berdomisili di Semarang ini memperjuangkan batik mangrove dengan brand Batik Bakau miliknya untuk bersaing dengan Grand Finalis lainnya dan berhasil.
Berkarir sejak kuliah
Cahyadi telah memulai karir membatiknya sejak 2011 lalu, saat masih di bangku kuliah. Berawal dari mengikuti organisasi lingkungan KeSEMaT yang ada di kampusnya, Cahyadi mulai mengenal mangrove.
Ditemui usai perhelatan HiLo Green Leader 2015 semalam, Cahyadi mengaku tertarik memanfaatkan limbah dari buah mangrove yang telah busuk.
“Setelah sering mangroving ke berbagai daerah di pantura Jateng, saya melihat banyak sekali limbah buah mangrove, atau biasa disebut propagul yang terbuang. Seharusnya buah ini menjadi bibit mangrove baru, namun karena jumlahnya sangat banyak, maka banyak juga yang mati dan hanya menjadi limbah di alam,” jelasnya. “Saya mulai berpikir untuk memanfaatkan limbah alam asli mangrove ini, dibantu teman-teman di KeSEMaT pada waktu itu. Saya melakukan research untuk pengelolaan pemanfaatan limbahnya dan Batik Mangrove-lah yang saya pilih,” tambahnya.
Sosok sederhana yang tak pernah merasa bahwa dirinya hebat ini, terlihat dari penampilannya yang tak neko-neko. Pria yang juga lulusan UNDIP Jurusan Ilmu Kelautan ini mengatakan bahwa sesungguhnya pekerjaan yang paling baik adalah yang mampu memberikan manfaat bagi orang lain, dan tidak hanya bagi diri sendiri.
“Yang terpenting adalah selalu berdoa, ikhtiar, ikhlas dan berusaha tanpa pamrih,” katanya.
Konsep bisnis sosial
Cahyadi mengaku berkeinginan untuk berbisnis dengan konsep sosial bisnis agar mampu melibatkan orang banyak, karena cita-cita utamanya adalah mampu menyejahterakan masyarakat pesisir di seluruh Indonesia.
Pemuda 24 tahun ini juga memiliki cita-cita mulia, yaitu mempersatukan para pengrajin batik mangrove menjadi satu wadah agar bisa saling bersinergi dan tak bersinggungan. Selain itu, mendirikan Kampung Batik Semarang adalah impiannya sejak dulu yang mulai perlahan mampu diwujudkannya.
“Secara perlahan, Batik Bakau bisa berkembang baik, dimulai dari Semarang ke seluruh Indonesia. Saya juga diundang ke Bangka Belitung, Rembang, Jepara, Batam dan kota lainnya untuk memberikan pelatihan di sana,” jelasnya.
Omset batik yang pewarnanya diambil dari buah-busuk mangrove jenis Rhizophora ini cukup tinggi, berkisar 5 – 15 juta per bulan. Ini lebih dari cukup untuk menghidupi warga binaan Batik Bakau yang mayoritas adalah para istri nelayan di pesisir Mangunharjo, Semarang.
“Saya sangat terbantu dengan KeSEMaT yang sudah mapan dan banyak memiliki mitra kerja. Dari jaringannya, batik mangrove asli Semarang ini bisa cepat tersebar ke seluruh Indonesia bahkan luar negeri,” jelasnya.
Batik Bakau diikutkan dalam pameran-pameran industri kreatif dan sudah terjual sampai ke negara Singapura, Jepang dan kawasan Asia Pasifik. (Sumber: MANGROVEMAGZ).
No comments:
Post a Comment