Mengare - KeSEMaTBLOG. Di sela-sela kunjungan kerja kami ke Surabaya dan Gresik, untuk memberikan pelatihan dan penyuluhan mangrove kepada warga pesisir di sana (lihat foto di samping), kami menyempatkan diri untuk mengamati Mengare. Mengare begitu istimewa bagi kami, karena keberadaannya sekarang, telah membuat kami merinding dan ketakutan akan nasibnya di masa mendatang. Konversi lahan mangrove menjadi area pertambakan dan pemukiman, mulai terjadi begitu hebatnya, hingga kami tak bisa membayangkan lagi, apabila Mengare akan bernasib sama dengan Bulak Lama di Jepara, Bedono di Demak dan Tugu di Semarang, yang telah habis lahan mangrove dan warganya karena tertelan laut sehingga harus dibedol dan diungsikan ke lokasi yang lebih aman.
Mengare pada awalnya adalah sebuah pulau yang terpisah. Namun demikian, karena proses pendangkalan akibat sedimentasi selama bertahun-tahun, maka kini Mengare menjadi satu bagian dengan Pulau Jawa. Mengare merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Untuk menuju ke Mengare, maka kita bisa menggunakan transportasi darat berupa mobil atau motor, dan menempuh jalan setapak-berpaving sejauh 9 km dengan kanan kiri diapit oleh tambak bandeng dan tambak garam.
Begitu banyaknya tambak yang ada di tempat ini hingga menjadikan Mengare juga dikenal sebagai Pulau Seribu Tambak! Memang, sebagian besar mata pencaharian penduduk Mengare adalah sebagai petani tambak dan nelayan. Di Mengare terdapat tiga desa, yaitu Watu Agung, Tanjung Widoro dan Kramat, dimana jumlah penduduk di ketiga desa tersebut mencapai 10.000 jiwa. Yang unik dari kaum pria Mengare adalah mereka selalu menggunakan sarung untuk aktivitas sehari-hari.
Jenis mangrove yang terdapat di pulau nan eksotis ini antara lain adalah Rhizophora apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, Ceriops tagal, C. decandra dan lain-lain. Di Mengare, juga terlihat “burung mangrove” dan monyet yang nampak mendiami pepohonannya yang masih lebat. Namun sayang, keanekaragaman hayati mangrove di Mengare mulai terancam dengan pertambakan bandeng yang mulai merajalela.
Sebagai informasi, Bandeng Mengare merupakan salah satu bandeng tambak dengan kualitas nomor satu di Indonesia. Untuk itulah, maka permasalahan pesisir Mengare, yaitu gejala abrasi karena rusaknya mangrove sehingga berakibat pada hilangnya tambak oleh gempuran air laut, adalah salah satu hal yang tidak bisa dihindari lagi. Kami hanya berdoa dan berharap, semoga Mengare tidak akan menjadi Bulak Lama, Bedono dan Tugu yang kedua. Amin. Semangat MANGROVER!
Dh,
ReplyDeletemaaf sebelumnya, saya mendukung upaya konservasi mangrove atau pun konservasi lingkungan hidup pada umumnya. cuma ada beberapa yang saya kurang sepakat dengan pendapat penulis artikel ini yang terlalu berlebihan dan terlalu sempit sudut pandangnya dalam menyikapi persoalan kerusakan mangrove di mengarai.
sebelumnya ada beberapa yang mau saya sorot.
1. apakah mengarai bisa dikategorikan sebagai pulau? bukankah mengarai itu delta sungai?
2. apakah konversi lahan menjadi penyebab utama abrasi? bukankah abrasi itu peristiwa yang sangat kompleks? bagaimana dengan perubahan tinggi permukaan air laut, perubahan arah gelombang laut, kondisi tersebut tidak cukup bisa ditoleransi oleh mangrove, karena perakaran mangrove juga mempunyai keterbatasan dalam menahan gerusan gelombang. mangrove bisa bertahan kan karena perairannya terlindungi, saya rasa anda lebih paham soal ini. proses sedimentasi juga berpengaruh, coba Anda melanjutkan ke daerah Ujung Pangkah, luas daratan semakin luas karena proses sedimentasi.
3. Ancaman terhadap keanekragaman hayati yang paling utama adalah perburuan, bukan konversi, karena burung-burung air yang menghuni habitat "tambak" sudah bisa hidup berdampingan dengan pola pemanfaatan lahan seperti ini.
tolong jangan pojokkan para petani tambak yang sudah puluhan tahun memanfaatkan potensi alam tersebut,seperti dalam tulisan Anda. tapi jadikanlah mereka solusi bagi masalahnya sendiri, dan tolong jangan jadikan upaya rehabilitasi sebagai komoditas untuk mencari profit seperti yang banyak pihak lakukan. mereka menyebut telah menanam seribu, seratus ribu atau sejuta pohon, tapi hanya sebatas proyek penanaman, ya sudah setelah proyek tanam selesai, selesai lah semua.
Salam.
Salam MANGROVER!
ReplyDeleteYth. Bapak/Mas Asatrio
Langsung saja, kami sangat merinding dan ketakutan sendiri membaca komentar, Anda yang kiranya bagi kami justru Andalah yang sangat berpikiran sempit, Pak/Mas.
Bahkan, membaca tiga poin pertanyaan Anda, kami sempat berkata dalam hati, mengapa ada pemikiran seperti ini di dalam benak, Anda.
Kami jadi sangat heran kepada diri Anda, Pak/Mas. Kalau saja, Anda ikut kami pada saat kami menyuluh mangrove kepada para nelayan tambak dan para stakeholder mangrove di Mengare, tentu saja pemikiran sempit Anda ini tidak akan pernah tersirat dalam benak Anda.
Baiklah, kami akan klarifikasi.
1. Untuk penyebutan Pulau, kami tidak berpikiran terlalu jauh nan ilmiah seperti Anda. Penyebutan Pulau sendiri adalah penyebutan warga Mengare sendiri, pada saat kami sedang berdiskusi dengan warga Mengare, dan penyebutan inilah yang mengemuka pada saat, itu. Untuk pemikiran Anda, apakah ini delta dan sebagainya, kami tidak sedang menulis sebuah artikel ilmiah atau sebuah thesis, kami hanya mengabarkan bahwa Pulau Mengare yang disebut oleh masyarakat Gresik, sedang dalam tahap yang sangat kritis dan mengkhawatirkan, sekarang ini.
2. Tentu saja bisa dibenarkan, apapun alasan kita dan alasan Anda dan di dalam studi apapun, konversi lahan adalah salah satu penyebab terjadinya abrasi pantai. Selebihnya, justru, kami sangat setuju dan mendukung pendapat kedua Anda ini, dan mengharapkan agar pihak-pihak terkait, bisa juga berpartisipasi membantu warga Mengare untuk meneliti, mengenai studi lahan di kawasan ini. Perlu kami jelaskan, bahwa sekali lagi, kami tidak sedang membuat sebuah thesis atau disertasi mengenai Pulau Mengare, kami hanya mengabarkan situasi dan kondisi pada saat kami bertatap muka dengan warga Mengare.
3. Untuk ini, Anda bisa disalahkan. Kami sangat tidak setuju pendapat “egois” seperti ini, yang menganggap bahwa efek yang dihasilkan oleh satu daerah akan bisa digeneralisasikan ke daerah yang lain. Pengalaman kami mengelola kawasan mangrove di Semarang, Demak, Jepara, Kalimantan, dan area kerja kami lainnya di Indonesia, “mengatakan” bahwa flora dan fauna telah hilang akibat konversi lahan.
Memojokkan petani tambak? Astagfirullah! Mengapa ada pemikiran seperti ini di dalam benak Anda (?) Bahkan petani tambak sendirilah yang mengakui bahwa konversi lahan mangrove menjadi tambak telah menyebabkan turunnya produktivitas tambaknya, sehingga mereka sendiri yang berinisiatif untuk mengundang kami untuk menjelasakan, bagaimana hal ini bisa terjadi.
Tolonglah jangan mendeskriditkan mereka, seperti yang telah Anda tuduhkan.
Kami sangat setuju dengan pendapat Anda bahwa memang ada pihak yang menurut kalimat Anda “..jadikan upaya rehabilitasi sebagai komoditas untuk mencari profit seperti yang banyak pihak lakukan. mereka menyebut telah menanam seribu, seratus ribu atau sejuta pohon, tapi hanya sebatas proyek penanaman, ya sudah setelah proyek tanam selesai, selesai lah semua ..” Silahkan Anda mencermati Jaringan KeSEMaTONLINE www.kesemat.undip.ac.id. Kami sedang berkampanye untuk melakukan ANTI terhadap penanaman mangrove dan konsep rehabilitasi mangrove yang bersifat seremonial, belaka.
Tapi, kami sangat tidak setuju kepada tuduhan Anda yang seolah-olah sudah menjustifikasi warga Mengare dan pihak-pihak lainnya yang memiliki niatan baik, memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan profit mereka.
Mohon, Anda bisa merevisi kalimat-kalimat Anda. Untuk itu, tolonglah. Jangan terlalu menuliskan komentar yang bersifat menuduh apabila Anda sendiri juga belum mengetahui situasi dan kondisi secara real di lapangan.
Semoga saja, kita bersama bisa belajar dari kesalahpahaman persepsi antara Anda dengan kami.
Semangat MANGROVER!