Semarang – KeSEMaTBLOG. Sewaktu kami melakukan program penyuluhan mangrove kami di kawasan Tambak Lorok, Kecamatan Semarang Utara, kami sempat bertemu dengan Ketua RW setempat yang berniat “mengusulkan” pergantian nama atas kawasan Tambak Lorok, sembari menceritakan mengenai kondisi menyedihkan yang kini dialami oleh warganya. Menurut dia, semenjak dia tinggal di kawasan ini, sedari kecil hingga sekarang, keberadaan hutan mangrove yang dulunya lebat, kini tiba-tiba menghilang menjadi area pertambakan yang sangat luas.
Hilangnya hutan mangrove, menyebabkan kondisi pemukiman warga Tambak Lorok di tahun 2010 ini, menjadi terancam. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena tak hanya abrasi pantai saja yang menjadi-jadi, pemukiman wargapun juga sudah mulai tertelan air laut, yang menyebabkan beberapa KK kemungkinan telah dan akan direlokasi (lagi) ke tempat lain yang lebih aman.
Area pertambakan di Tambak Lorok yang kini berubah menjadi lautan, tak ubahnya sebuah cerita pilu nan mengenaskan, yang juga dialami oleh kawasan pesisir Tugu Semarang, Trimulyo Semarang, Bedono Demak, Bulak Lama Jepara, Mengare Gresik dan beberapa titik lainnya di seluruh Indonesia, yang telah sempat kami kunjungi, yang mulai terkena dampak langsung akibat keserakahan manusia dalam mengeruk sumberdaya alam pesisirnya, dengan cara membabat hutan mangrovenya.
Hilangnya hutan mangrove, telah membuat gelombang-dahsyat-lautan begitu leluasa menggempur daratan sehingga menyebabkan abrasi dan erosi pantai, juga menelan korban puluhan bahkan ratusan hektar tambak dan pemukiman penduduk. Selanjutnya, yang menyedihkan lagi di Tambak Lorok adalah sikap pasif baik warga dan dinasnya yang seolah-olah telah kehilangan akal, bagaimana lagi caranya, agar tambak, daratan dan pemukiman warga bisa terselamatkan. Faktanya, sejauh mata memandang, memang sudah tidak ada lagi sabuk hijau pantai berupa mangrove, kecuali timbunan sampah dan alat pemecah gelombang yang dibangun dengan konsep “serampangan”.
Melihat kondisi pesisir Tambak Lorok yang sudah teramat parah ini, maka program penanaman mangrove (lihatlah foto di atas, di saat kami mendampingi program percontohan penanaman sedikit-bibit-Rhizophora ke kaum muda Tambak Lorok, dengan tujuan hanya untuk mendidik dan menyemangati jiwa konservasi mangrove mereka, agar kasus-kasus reklamasi dan konversi lahan mangrove tidak terus terjadi) bisa jadi adalah sebuah solusi yang nampaknya akan menjadi sia-sia belaka. Untuk itulah, sebelum mangrove ditanam, maka pembangunan sea wall layaknya di negeri Kincir Angin, mau tidak mau sudah harus mulai dikaji implementasi pendiriannya di lokasi ini. Kembali ke pernyataan di atas, apabila melihat kenyataan ini, maka tidak salah kiranya, apabila Bapak RW setempat begitu niatnya untuk mengganti nama Tambak Lorok menjadi Tambak Parah!
No comments:
Post a Comment