Sebenarnya, cara penanaman di substrat yang tergenang air seperti ini kurang tepat. Apa pasal? Karena, peserta tidak akan bisa maksimal dalam menancapkan (menanam) akar bibit mangrove ke tanah (karena pandangan mata terhalang oleh genangan air) sehingga dikhawatirkan akan banyak bibit (dan ajir) yang tak tertancap ke tanah dengan baik sehingga bisa mengakibatkan banyak bibit mangrove tumbang, saat terkena air pasang.
Pada waktu itu, fakta seperti ini memang sudah dipikirkan oleh KeSEMaT. Namun karena banyak kendala non teknis seperti pasang surut (bayangkan saja, saat surutnya saja malam hari. Kalau dilakukan penanaman di waktu malam bagaimana jadinya. Padahal KeSEMaT mengundang Bupati, perwakilan instansi, dosen, dan stake holder lainnya), waktu, perijinan dan tempat yang tak memungkinkan.
Maka dengan sedikit modifikasi, penanaman mangrove tetap dilakukan dengan banyak catatan dari panitia, seperti setiap peserta harus memastikan bahwa ajir dan bibit yang akan ditancapkan lebih dalam ke tanah dan wajib ditanam dengan benar. Selain itu, genangan air yang tak begitu tinggi, rata-rata kurang dari 30 cm juga membuat penanaman mangrove bisa terealisasikan. Pun, program pemeliharaan mangrove seperti KeSEMaT Goes To Arboretum (KGTA), pada nantinya juga akan “menjaga” bibit-bibit mangrove ini tumbuh, karena ada program penyulaman bibit mangrove yang mati dan digantikan dengan bibit mangrove yang baru. Dengan alasan seperti itulah, maka penanaman mangrove di substrat yang agak tergenang ini, akhirnya tetap dilakukan.
Namun sayang seribu sayang, setelah MR 2005 selesai dan program KGTA dijalankan secara periodik oleh KeSEMaT, kondisi alam dan cuaca yang tidak mendukung sehingga membuat kelulushidupan bibit mangrove hasil MR 2005 ini hanya mencapai persentase 30% saja. Dari 1500 bibit mangrove yang ditanam hanya kurang lebih 450 bibit saja yang bertahan hidup.
Selanjutnya, dari enam spesies mangrove yang ditanam, yaitu Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa, Ceriops tagal, C. decandra dan Bruguiera gymnorrhiza, walaupun semuanya bertahan hidup, akan tetapi tidaklah maksimal. B. gymnorrhiza contohnya, dari 10 buah bibit yang didatangkan dari Bali untuk ditanam di Teluk Awur hanya tersisa 4 bibit saja. Begitupun dengan spesies lainnya, semuanya tak bisa bertahan hidup hingga seratus persen, walaupun program penyulaman (KGTA) sudah dilakukan oleh KeSEMaT.
Dari pengalaman hasil MR 2005 ini, ada beberapa pelajaran berharga yang kiranya perlu untuk diperhatikan dan dipergunakan sebagai pembelajaran terutama untuk pengadaan MR mendatang, yaitu:
1.Substrat yang tidak cocok.
Hipotesa KeSEMaT mengenai banyaknya bibit mangrove yang mati adalah ketidakcocokan substrat. Substrat di lokasi MR 2005 adalah karang-berpasir dengan sedikit lumpur. Padahal dari lima spesies yang ditanam, semuanya cenderung lebih menyukai substrat yang kandungan lumpurnya lebih banyak.
2.Pentingnya saluran air.
Kondisi tanah yang selalu tergenang sepanjang waktu juga merupakan satu catatan serius yang diperhatikan oleh KeSEMaT. Usaha untuk membuat saluran air sudah dilakukan, namun karena kondisi alam (badai) yang sering melanda Teluk Awur, membuat saluran air-saluran air yang telah dibuat oleh KeSEMaT, tertimbun kembali oleh tanah/pasir sehingga tidak bisa berfungsi dengan baik akibatnya air selalu menggenangi bibit-bibit mangrove yang telah ditanam.
3.Musim kemarau yang panjang.
Sebaliknya, musim kemarau berkepanjangan selama satu tahun ini (lihat foto yang kedua di atas. Terlihat substrat sangat kering akibat kemarau berkepanjangan), membuat genangan air menjadi kering sehingga suplai air tawar/payau yang dibutuhkan oleh mangrove tak terpenuhi dengan baik.
4.Meminimalkan mengambil bibit mangrove dari luar area/pulau.
B. gymnorrhiza, salah satu spesies mangrove yang ditanam di lokasi didatangkan dari Bali. Pendatangan bibit ini, tujuan awalnya adalah untuk melengkapi koleksi spesies mangrove yang ada di Arboretum KeSEMaT. Namun agaknya hasil yang didapatkan belum maksimal. Hipotesa KeSEMaT dari ketidakberhasilan penanaman bibit mangrove ini, selain tiga alasan di atas, juga disebabkan karena Bruguiera kurang bisa beradaptasi terhadap lingkungan Teluk Awur Jepara yang (tentunya) tak sama dengan kondisi aslinya di Bali.
Dari pengalaman ini, KeSEMaT sedikit banyak bisa menyimpulkan bahwa untuk menjaga agar bibit-bibit mangrove bisa terus hidup, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu sebelum melakukan penanaman mangrove harus diadakan penelitian secara mendalam mengenai substrat yang cocok, pembuatan saluran air terutama di lokasi penanamana yang tergenang, perhitungan kondisi iklim/cuaca dan untuk pengadaan bibit yang akan ditanam, diusahakan diambil dari satu daerah/pulau. Semoga dari pengalaman ini, bisa memberikan informasi dan bisa dijadikan rekomendasi bagi pihak lain yang akan melakukan penanaman mangrove serupa di daerahnya masing-masing.
No comments:
Post a Comment