Saya senang sekali ketika membaca laporan proyek sebuah LSM yang mengatakan bahwa mangrove di lokasi A telah dengan sangat baik tumbuh dan berkembang. Laporannya sangat bagus sekali, sehingga berhasil meyakinkan diri saya akan keberhasilan program-program yang telah didesain dan dijalankan oleh LSM tersebut.
Namun sayang sekali, sewaktu saya mengecek sendiri ke lapangan, hasilnya seratus delapan puluh derajat berbeda. Mangrove banyak yang rusak, sama sekali tak mencerminkan adanya sebuah keberhasilan proyek mangrove, seperti yang tertulis pada laporan yang dibangga-banggakan LSM tersebut. Sejak saat itu, saya mulai agak apriori dengan laporan-laporan mangrove yang dibuat dan dilaporkan oleh sebuah LSM. Walaupun tidak semua LSM seperti itu, namun kekhawatiran kecurangan pelaporan seperti itu, masih saja membekas, sampai dengan sekarang. Setiap kali membaca sebuah laporan proyek mangrove yang gaya bahasanya saya anggap hiperbola, saya langsung curiga, “Jangan-jangan yang dilaporkan ini hanyalah…”
Sudah menjadi rahasia umum bahwa gagalnya berbagai macam bentuk proyek mangrove di Indonesia akibat ulah pihak-pihak yang tidak serius dalam melayani mangrove. Mereka tidak menjalankan program mangrove yang telah didesain dan disepakati dari awal, sebagaimana mestinya. Mereka malah dengan seenaknya menyelewengkan desain dan konsep tersebut di lapangan. Pembangunan pesisir Indonesia sebenarnya sudah mulai memiliki konsep yang jelas, namun akibat ulah dari oknum-oknum seperti ini, implementasi konsep pembangunan pesisir di lapangan menjadi tidak maksimal dan tidak efisien.
Pengerjaan proyek mangrove, terkesan hanya mengejar materi alias uangnya saja tanpa adanya tanggung jawab untuk melaksanakan proyek tersebut dengan baik dan profesional. Yang terjadi kemudian adalah, begitu proyek mangrove dilempar ke pasaran, LSM "karbitan" (LSM yang baru dibentuk kalau ada proyek saja) berlomba-lomba berjuang dengan segala macam cara untuk mendapatkan proyek itu. Sayangnya, setelah mendapatkan proyek itu pada saat: (1) pengukuran tinggi dan diameter batang mangrove, mereka hanya menerapkan konsep SUSP atau Satu Ukur Seribu Palsu.
Pengukuran memang dilakukan, tapi hanya dilakukan pada beberapa buah pohon saja, yang lainnya menggunakan sistem kira-kira, saja. (2) penetapan waktu proyek yang disepakati 3 bulan lamanya, saat di lapangan, didesain lagi sedemikian rupa sehingga memakan waktu yang kurang dari waktu awalnya. Dengan demikian, beberapa rupiah bisa dialihkan untuk membiayai “keperluan lain.” Copy (fotocopy) menjadi kopi (minuman), adalah hal lumrah yang sering ditemukan dalam manajemen pengerjaan proyek-proyek mangrove.(4) penanaman mangrove yang seharusnya menggunakan bibit, dialihkan menjadi penanaman benih sehingga pada saat gelombang datang menghantam, tak ayal lagi, habislah riwayat benih mangrove yang rencananya mau dibuat sebagai pencegah abrasi pantai, tersebut.
Itu hanyalah beberapa contoh kecil kecurangan yang sering terjadi di lapangan. Belum lagi banyaknya nama LSM, konsultan dan data-data penelitian yang fiktif. Sedih sekali, melihat kenyataan bahwa proyek mangrove hanyalah digunakan sebagian orang sebagai ajang untuk mencari dan mengeruk uang dan keuntungan saja, tanpa adanya tanggung jawab moral kepada mangrove. Sekali lagi, kasihan benar nasib mangrove itu.
Kalau terus menerus begini, saya tak menyalahkan mangrove kalau beliau membalaskan dendamnya kepada kita dengan cara membiarkan lahan pesisir kita tergerus oleh abrasi. Saya juga akan mendukung sikap beliau yang tak akan mau lagi melindungi kita dari ganasnya gelombang tsunami yang siap menewaskan kita. Saya juga akan gembira sekali menyambut kabar bahwa kehidupan manusia akan terancam akibat pemanasan global. Saya lagi-lagi juga akan tertawa riang apabila melihat bahan-bahan pencemar di pesisir pantai dengan leluasa meracuni lingkungan kita, akibat mangrove yang tak mau lagi untuk menyaring dan menjaga diri kita dari bahan pencemar itu. Itu semua kabar gembira buat saya.
Memang tak bisa dipungkiri, bahwa manusia seperti saya dan Anda butuh makan. Ya, saya sangat sadar betul akan hal itu. Kita juga butuh uang proyek itu, untuk menghidupi keluarga kita dan untuk membeli banyak keperluan hidup kita. Tapi apakah kita ini sudah tidak punya sedikit etika? Apakah kita juga tak takut dosa? Apakah kita ini tak punya secuil kesadaran? Apakah kita ini malah sudah tak lagi punya hati? Kan sudah ada pembagian yang jelas, to. Mana uang untuk mangrove dan mana uang untuk kita? Apa masih kurang cukup?
Saudara-saudara sekalian, kalau kita berbuat curang seperti itu, kita ini telah menyakiti dan mengkhianati mangrove, lho. Mangrove itu makhluk ciptaan Tuhan YME, juga. Kalau kita menyakiti dan mengkhianati beliau, sama juga kita ini menyakiti dan mengkhianati manusia. Jangan lupa, kita juga akan membuat murka Tuhan YME yang telah menciptakan beliau. Apa kita ini sudah tidak takut lagi sama Tuhan? Mangrove itu makhluk hidup seperti kita-kita juga, je. Jangan main-main dengan mangrove, ah. Nggak pantes! (Oleh : IKAMaT).
No comments:
Post a Comment