Saya setuju dan menyambut antusias usulan ini. Namun begitu diminta untuk mengusulkan hal ini kepada DIKNAS, saya agak pesimistis, mengingat gempuran birokrasi yang masih sulit ditembus untuk “usulan kecil” seperti ini. Apalagi ditambah kenyataan bahwa masih kurangnya apresiasi masyarakat Indonesia terhadap lingkungan pesisir (terutama mangrove), membuat tekad saya semakin menciut. Buat apa diusulkan usulan kecil seperti ini, lha usulan besar saja belum tentu diterima. Ditambah lagi fakta bahwa tahapan birokrasi di negara kita ini berlapis-lapis. Semakin membuat saya patah arang.
Begitu masuk di “meja administrasi”, usulan itu masih harus didengar, ditampung, direnungkan, diendapkan, dipertimbangkan, didiskusikan, di….(seribu di) dan kemungkinan buruk ditolak. Kalaupun diterima, proses penerimaan usulan hingga kurikulum mangrove jadi dan siap dilempar ke pasar alias disosialisasikan ke masyarakat pesisir, memakan waktu satu, dua, tiga, empat, lima bahkan mungkin sampai berpuluh-puluh tahun lagi. Padahal, untuk mendidik masyarakat muda dan tua kita untuk sadar dan mau menyelamatkan pesisir pantainya harus dimulai dari sekarang! Tak bisa ditunda-tunda lagi. Lihatlah di lapangan, dari total luas mangrove di Indonesia sekitar 9,2 juta ha, tingkat kerusakannya telah mencapai 57,6% atau seluas 5,3 juta ha (DEPHUT, 2002). Dengan kata lain, sudah 50% lebih, mangrove di Indonesia rusak parah! Apa kita mau di masa mendatang pesisir pantai kita, tak ada mangrovenya sama sekali? Maukah kita jadi bulan-bulanan abrasi dan tsunami yang menewaskan berjuta-juta penduduk kita seperti di NAD, kemarin? Tentu tidak, kan?.
Kalau saya sih, daripada menunggu lama seperti itu, lebih baik bekerja dengan cara saya sendiri. Bersama KeSEMaT, (walaupun kurikulum mangrove belum ada), kami berusaha untuk mendesain “kurikulum mangrove ala kami” kemudian menyampaikannya (berupa penyuluhan) ke berbagai masyarakat di pesisir Rembang, Jepara, Demak dan Semarang (lihat foto di atas). Walaupun masih belum maksimal (karena banyak kendala teknis dan non teknis), sedikit banyak kami bisa membantu masyarakat pesisir dalam mengenal, mengerti dan memahami ekosistem mangrovenya.
Saya sedih (sewaktu diminta Ilmu Kelautan UNDIP untuk mengenalkan ekosistem mangrove berikut beberapa spesies binatang mangrove kepada murid-murid SD di Jepara) melihat kenyataan bahwa adik-adik saya di Jepara belum banyak yang tahu mengenai binatang-binatang, apalagi spesies mangrovenya. Dari semua binatang mangrove yang ada, hanya Kelomang-lah, yang nyangkut di kepala mereka.
Tentu saja mereka sangat hafal dengan gajah, jerapah, banteng, singa, monyet dan kuda. Tapi mereka tidak tahu apa itu Uca, Episesarma, Alpheus, dan Mudskipper. Mereka juga tahu jambu, pisang, salak, dan duren, tapi Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia? Sama sekali tidak!
Ketika di Rembang, saya sempat gigi jari karena walaupun penjualan bibit mangrove sudah sangat intensif, namun petani mangrove belum bisa memanfaatkan berjuta-juta mangrove tersebut sebagai daerah ekowisata layaknya Pusat Informasi Mangrove (PIM) di Bali. Pemanfaatan mangrove sebagai bahan makanan seharusnya juga bisa dilakukan, namun karena keterbatasan tenaga ahli, semuanya belum mampu diwujudkan.
Lalu saat di Demak, walaupun rumah dan makam masyarakat sana setiap hari terendam oleh air laut (rob), namun mereka tak bisa berbuat apa-apa karena tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya konversi lahan mangrove menjadi tambak-lah yang menjadi penyebabnya .
Ya, itulah gambaran kecil masyarakat pesisir di Indonesia ini. Masih sangat minim pengetahuannya tentang mangrove dan pesisir. Tak heranlah dari tahun ke tahun, pengelolaan mangrove cenderung stagnan, terasa mandeg dan ya…begitulah. Saya sih, tidak menyalahkan mereka tapi menyalahkan diri saya sendiri yang tak mampu berbuat banyak dalam menyuluh dan mendidik mereka dengan pengetahuan mangrove yang saya miliki. Jujur, saya malu. Tapi…Oh, God. Please forgive, me. (Oleh : IKAMaT).
No comments:
Post a Comment