Semarang – KeSEMaTBLOG. Minggu-minggu ini, puluhan mahasiswa dari Semarang dan luar Semarang, seringkali keluar masuk ke Kantor KeSEMaT. Kunjungan dan kedatangan mereka ke kantor kami, tak lain dan tak bukan adalah untuk menanyakan mengenai berbagai hal seputar teknik rehabilitasi mangrove yang baik dan benar. Tak hanya itu, mereka juga berkonsultasi dengan kami mengenai pengalaman KeSEMaT dalam mengelola lahan gundul menjadi lahan bervegetasi mangrove lebat seperti yang telah berhasil kami lakukan di Desa Teluk Awur, Jepara. Nampaknya, mereka merasa terinisiasi untuk membantu kami dalam mengelola daerah pesisir di daerah mereka masing-masing.
Tentu saja, kami senang dengan kondisi seperti ini. Minat dan niatan dari kawula muda untuk menyelamatkan ekosistem mangrove yang begitu besar di pertengahan 2009 ini, membuat kami merasa tidak sendirian lagi, dalam melakukan pekerjaan mangrove –yang berat- ini. Hal seperti ini, membuat kami semakin bersemangat untuk menyelamatkan kehidupan mangrove di pesisir kita.
Namun demikian, dibalik keluar masuknya para mahasiswa ke kantor kami, masih adanya anggapan dari mereka bahwa penanaman mangrove adalah sama dengan penanaman tanaman biasa (baca: tanaman darat), nampaknya harus terus menerus kami luruskan. Berkali-kali kami harus mempresentasikan teknik rehabilitasi mangrove di hadapan mereka, untuk memberikan pengertian bahwa usaha rehabilitasi mangrove memang tak boleh dilakukan dengan tidak serius.
Pemberian pengertian seperti ini kami lakukan karena banyak dari mereka yang berpikir bahwa apabila kita ingin melakukan usaha rehabilitasi mangrove di pesisir kita, cukup dengan cara membeli bibit mangrove sekian ratus buah, lalu langsung menanamnya ke pesisir. Masih sedikit sekali yang tahu bahwa program-program penanaman mangrove, sebenarnya tidak semudah seperti yang dibayangkan mereka.
Perlu kami informasikan, bahwa mangrove itu adalah jenis tumbuhan yang tinggalnya di lahan penuh konflik. Konflik kepentingan antar berbagai institusi dan organisasi dari swasta dan pemerintahan, ditambah lagi dengan konflik kepemilikan lahan yang terkadang diklaim oleh masyarakat pesisir sekitar, adalah pemandangan sehari-hari yang selalu kita lihat.
Jadi, apabila hendak melakukan penghijauan mangrove di pesisir, kita tak boleh hanya beli bibit mangrove lalu tanam secara sembarangan. Sebelum menanam, kita harus meyakinkan dulu tentang (1) status tanahnya dengan menghubungi dinas terkait; (2) kepemilikan lahan dengan cara bertanya dan berdiskusi dengan masyarakat sekitar tapak; (3) bagaimana teknis penanamannya (lihat foto di atas pada saat KeSEMaTERS memberikan pelatihan tentang teknik penanaman mangrove yang baik dan benar kepada 120 peserta Mangrove Cultivation 2009 di Mangrove Education Center of KeSEMaT –MECoK-, Desa Teluk Awur Jepara); (4) penelitian tentang kecocokan substrat dengan jenis mangrove yang akan ditanam; (5) siapa yang akan melakukan pemeliharaan setelah bibit-bibit mangrove ditanam dan lain sebagainya. Nah, karena hal-hal yang seperti inilah, terkadang penanaman mangrove selalu hanya diinisiasi oleh pemerintah, swasta dan LSM yang memiliki kredibilitas dan kapasitas organisasi yang matang dan memadai yang kemudian bekerjasama dengan kelompok tani dan masyarakat pesisir setempat.
Tak salah memang, apabila kita secara pribadi tanpa mengatasnamakan organisasi dan institusi kita, lalu melakukan usaha penghijauan tanpa harus melakukan minimal lima poin, seperti yang telah diamanatkan di atas. Namun, jika demikian, kita juga harus berpikir relistis, selepas kita menanam bayi-bayi mangrove kita, siapakah yang akan memelihara dan merawatnya (?). Tak adanya kepedulian dari kita untuk memelihara tumbuhan mangrove itu, tentu akan berpengaruh pada kelulushidupan mangrove kita. Kita harus ingat bahwa kondisi pesisir setiap harinya berubah. Bisa jadi beberapa jam setelah kita tanam, gelombang yang besar menerjang lokasi penanaman kita dan tanpa ampun lagi merobohkan bibit-bibit mangrove yang sudah kita tanam.
Selanjutnya, apakah kita juga tidak khawatir dengan status tanah, dimana mangrove kita telah ditancapkan (?). Belum tentu setelah ditanam satu minggu, bayi-bayi mangrove kita akan tetap berada di tempatnya semula. Sebuah dinas dan pihak swasta yang diberikan wewenang untuk melebarkan sungai dan mereklamasi pantai, bisa saja menimbunnya dengan ribuan ton tanah. Kalau sudah demikian, apakah tidak sebaiknya apabila kita berprinsip tidak asal tanam saja (?). Sebelum melakukan penanaman mangrove, kita seharusnya duduk bersama dengan sebuah dinas dan pihak swasta terlebih dahulu, untuk menjamin tak adanya reklamasi di lokasi penanaman bibit-bibit mangrove kita, itu. Selanjutnya, setelah didapatkan jaminan akan status tanahnya, barulah kemudian kita melakukan penghijauan mangrove di sana.
Kedua hal di atas ini, adalah segelintir dari banyak alasan mengapa kita tidak boleh melakukan penanaman mangrove hanya dengan tujuan untuk senang-senang saja. Kita tentu sepakat, bahwa kita tidak mau apabila setelah ditanam, ratusan bibit mangrove kita mati sia-sia. Nah, jika memang demikian adanya, kedua hal di atas ini, apabila kita lakukan dengan benar, maka setidaknya akan menjamin ratusan bibit mangrove yang kita tanam, tidak mati sia-sia.
Semoga, dengan artikel kecil ini, pemahaman kita tentang beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan rehabilitasi mangrove, akan semakin bertambah. Amin. Salam MANGROVER!
No comments:
Post a Comment