Semarang – KeSEMaTBLOG. Setelah mempublikasikan artikel berjudul ”Ibu Diah dan KeSEMaTERS Memasak Buah Lindur Bersama” di Jaringan KeSEMaTONLINE, puluhan email langsung berdatangan ke email KeSEMaT. Puluhan email yang antara lain berasal dari Yogyakarta, Malang, Surabaya, Semarang, Jakarta, Riau dan berbagai kota di Indonesia tersebut, menanyakan beragam pertanyaan yang bermuara pada satu topik tentang bagaimanakah sebenarnya tata cara pengolahan Buah Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) sehingga bisa menjadi tepung yang siap untuk diolah menjadi berbagai macam penganan yang lezat (lihat foto di samping ini, Buah Lindur berhasil diolah menjadi cake mangrove yang bercita rasa manis dan gurih).
Maka, untuk memenuhi permintaan dari masyarakat Indonesia mengenai hal ini, di bawah ini kami sajikan sebuah artikel berjudul ”Potensi Buah Mangrove Sebagai Alternatif Sumber Pangan” yang ditulis oleh Dyah Ilminingtyas W. H. dan Diah Kartikawati, keduanya adalah Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Tujuh Belas Agustus (UNTAG) Semarang. Artikel ini sudah dipresentasikan oleh keduanya, dalam program penelitian dan pelatihan mangrove tahunan KeSEMaT, yaitu Mangrove Training (MT) 2009: Pelatihan Penelitian Ekosistem Mangrove dan Pengolahan Makanan Berbahan Dasar Buah Mangrove pada tanggal 15 Mei 2009, yang lalu. Selamat membaca. Semoga bermanfaat.
POTENSI BUAH MANGROVE SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PANGAN
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang hakiki dan pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat seperti yang diamanatkan oleh UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus terus dilakukan mengingat peran pangan sangat strategis, yaitu terkait dengan pengembangan kualitas sumber daya manusia, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional sehingga ketersediaanya harus dalam jumlah yang cukup, bergizi, seimbang, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Saat ini jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 210 juta jiwa dengan laju 1.8 % per tahun (Pramudya, 2004) yang mengakibatkan kebutuhan pangan terus meningkat. Pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk di seluruh wilayah pada setiap saat sesuai dengan pola makan dan keinginan bukanlah pekerjaan yang mudah karena pada saat ini fakta menunjukkan bahwa pangan pokok penduduk Indonesia bertumpu pada satu sumber karbohidrat yang dapat melemahkan ketahanan pangan dan menghadapi kesulitan dalam pengadaannya. Masalah pangan dalam negeri tidak lepas dari beras dan terigu yang ternyata terigu lebih adoptif daripada pangan domestik seperti gaplek, beras jagung, sagu atau ubijalar, meskipun di beberapa daerah penduduk masih mengkonsumsi pangan tradisional tersebut (Widowati, dkk., 2003).
Potensi sumber daya wilayah dan sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia memberikan sumber pangan yang beragam, baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein maupun lemak sehingga strategi pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumberdaya wilayah dan sumber pangan spesifik.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17,508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81,000 kilometer dan memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang sangat besar (Bengen, 2002). Sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan terdiri dari sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (non-renewable resources) seperti minyak bumi dan gas mineral serta jasa-jasa lingkungan (Dahuri dkk., 2001). Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove (hutan bakau) terbesar di dunia, yaitu mencapai 8.60 juta hektar, meskipun saat ini dilaporkan sekitar 5.30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004). Ekosistem mangrove memiliki manfaat ekonomis yaitu hasil kayu dan bukan kayu misalnya budidaya airpayau, tambak udang, pariwisata dan lainnya. Manfaat ekologis adalah berupa perlindungan bagi ekosistem daratan dan lautan, yaitu dapat menjadi penahan abrasi atau erosi gelombang atau angin kencang. Secara ekosistem berperan dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir baik secara fisik maupun biologis (Bandaranayake, 2005). Produk hutan mangrove yang sering dimanfaatkan manusia adalah kayu yang digunakan sebagai bahan bakar, bahan membuat perahu, tanin untuk pengawet jaring, lem, bahan pewarna kain dan lain-lain (Anonim, 2004).
Belum banyak pengetahuan tentang potensi dan manfaat mangrove sebagai sumber pangan. Penelitian yang dilakukan Mamoribo (2003) pada masyarakat kampung Rayori, distrik Supriyori Selatan, kabupaten Biak Numfor memberikan informasi bahwa masyarakat telah memanfaatkan buah mangrove untuk dimakan terutama jenis Bruguiera gymnorrhiza yang buahnya diolah menjadi kue. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai atau sekitar hutan mangrove seperti di Muara Angke Jakarta dan teluk Balikpapan secara tradisional pun ternyata telah mengkonsumsi beberapa jenis buah mangrove sebagai sayuran, seperti Rhizopora mucronata, Acrosticum aerum (kerakas) dan Sesbania grandiflora (turi). Bruguiera gymnorrhiza atau biasa disebut Lindur dikonsumsi dengan cara mencampurkannya dengan nasi sedangkan buah Avicennia alba (api-api) dapat diolah menjadi keripik. Buah Sonneratia alba (pedada) diolah menjadi sirup dan permen (Haryono, 2004). Begitu pula di sebagian wilayah Timor barat, Flores, Sumba, Sabu dan Alor, masyarakat menggunakan buah mangrove ini sebagai pengganti beras dan jagung pada waktu terjadi krisis pangan (Fortuna, 2005). Masyarakat di kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, sudah terbiasa mengkonsumsi buah mangrove dan kacang hutan sebagai pangan lokal pada waktu tertentu.
Buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza) yang secara tradisional diolah menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa (Sadana, 2007) mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu. Penelitian yang dilakukan oleh IPB bekerjasama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur menghasilkan kandungan energi buah mangrove ini adalah 371 kalori per 100 gram, lebih tinggi dari beras (360 kalori per 100 gram), dan jagung (307 kalori per 100 gram). Kandungan karbohidrat buah bakau sebesar 85.1 gram per 100 gram, lebih tinggi dari beras (78.9 gram per 100 gram) dan jagung (63.6 gram per 100 gram) (Fortuna, 2005).
Berdasar uraian diatas diantara sekian banyak buah mangrove yang cocok untuk dieksplorasi sebagai sumber pangan lokal baru adalah dari jenis Bruguiera gymnorrhiza. Hal ini disebabkan karena spesies ini buahnya mengandung karbohidrat yang sangat tinggi. Spesies Bruguiera gymnorrhiza yang mempunyai nama lokal antara lain: lindur (Jawa dan Bali), kajang-kajang (Sulawesi), aibon (Biak) dan mangi-mangi (Papua), berbuah sepanjang tahun dengan pohon yang kokoh dan tingginya mencapai 35 meter. Saat berumur 2 tahun sudah produktif menghasilkan buah. Tumbuh pada lapis tengah antara Avicennia spp yang di tepi pantai dan Nypa fructicans yang berada lebih mendekati daratan. Tumbuh subur pada daerah sungai dan muara sungai di sepanjang pesisir pantai berlumpur dengan salinitas rendah dan kering. Kulit kayu mempunyai permukaan halus sampai kasar, berwarna abu-abu sampai coklat kehitaman. Akarnya seperti papan melebar kesamping dibagian pangkal. Mempunyai sejumlah akar lutut. Daun berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian bawahnya. Dengan bercak-bercak hita, letak berlawanan, bentuk daun ellip ujung meruncing. Buah melingkar spiral memanjang dengan panjang antara 13 - 30 cm (Sadana, 2007).
Saat ini Bruguiera gymnorrhiza merupakan salah satu jenis mangrove yang digunakan untuk rehabilitasi hutan mangrove di kawasan pantai selatan Jawa Tengah terutama pantai Cilacap dan Kebumen dan sepanjang pantai utara Jawa tengah (Sukaryanto, 2006 dan Setyawan dkk., 2002).
Dalam bentuk alami, pemanfaatan B. gymnorrhiza yang selanjutnya kita sebut sebagai buah lindur untuk olahan pangan menjadi sangat terbatas. Dalam kondisi alami ini juga menjadi sangat terbatas umur simpannya karena seperti buah-buahan hasil pertanian yang lainnya buah lindur ini akan menjadi cepat busuk. Penepungan merupakan salah satu solusi untuk mengawetkan buah lindur karena dengan penepungan dapat memutus rantai metabolisme buah lindur sehingga menjadi lebih awet karena kandungan airnya rendah dan lebih fleksibel diaplikasikan pada berbagai jenis olahan pangan sehingga nantinya diharapkan lebih mudah dikenalkan pada masyarakat. Sebagai sumber pangan baru kami juga menganalisis kandungan Tanin dan HCN sebagai indikator keamanan pangannya. Karena tanin dan HCN dalam dosis tertentu bisa meracuni manusia.
Buah Lindur mempunyai rata-rata panjang 27 cm dengan rata-rata berat 45 g. Hasil analisis kimia buah lindur adalah kadar air 73.756%, kadar lemak 1.246%, protein 1.128%, karbohidrat 23.528% dan kadar abu sebesar 0.342%. Sedangkan kandungan anti gizinya HCN sebesar 6.8559 mg dan tannin sebesar 34.105 mg.
Perebusan dan perendaman disamping menginaktifkan enzim juga dapat mengurangi dan menghilangkan racun-racun yang ada pada buah lindur antara lain dari jenis tanin dan HCN. Dengan perendaman yang berulang daging buah lindur yang awalnya berwarna coklat tua berubah menjadi coklat muda. Kadar HCN setelah perebusan sebesar 0.72 mg setelah perendaman sebesar 0.504 mg Sedangkan kadar tanin setelah perebusan adalah 28,2 mg setelah perendaman sebesar 25.37 mg.
Kemampuan menyerap air tepung buah lindur mempunyai kisaran antara 125% - 145% hal ini berarti untuk membuat adonan 100 gram tepung buah lindur yang kalis diperlukan air sekitar 126 ml sampai dengan 145 ml. Kemampuan menyerap air ini menunjukkan seberapa besar air yang dibutuhkan oleh tepung untuk membentuk adonan yang kalis.
Kadar air tepung buah lindur yang dibuat dengan metoda langsung mempunyai kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar air tepung buah lindur yang diproses dengan perendaman larutan pemutih. Hal ini terjadi karena perendaman dalam larutan pemutih menyebabkan air masuk sehingga kadar air pada awal pengeringan lebih tinggi dibandingkan dengan yang langsung dikeringkan. Kadar air tepung buah landur pada akhir pengeringan sebesar 11,6321% untuk penepungan langsung dan 12,1761% untuk penepungan dengan perendaman larutan pemutih. Data tersebut memperlihatkan bahwa kadar air tepung buah lindur telah memenuhi syarat mutu tepung yang dikeluarkan Departemen Perindustrian (SII) yaitu kadar air maksimum yang diperbolehkan sebesar 14%.
Rata-rata kadar lemak tepung buah lindur sebesar 3,2116% untuk penepungan langsung dan 3,0917% untuk penepungan dengan perendaman larutan pemutih. Biasanya lemak dalam tepung akan mempengaruhi sifat amilografinya. Lemak akan membentuk kompleks dengan amilosa yang membentuk heliks pada saat gelatinisasi pati yang menyebabkan kekentalan pati (Wirakartakusumah dan Febriyanti, 1994).
Rata-rata hasil analisis protein tepung buah lindur sebesar 1,849% untuk penepungan langsung dan 1,4270% untuk tepung dengan perendaman dalam larutan pemutih. Hasil ini menunjukkan kadar protein buah lindur lebih besar dibandingkan dengan kadar protein tepung ubi kayu hasil penelitian Wirakartakusumah dan Febriyanti (1994) yang berkisar antara 0,7 – 1,2%.
Kadar abu Yang terdapat pada tepung dapat berasal dari mineral-mineral yang terkandung dalam buah lindur. Kadar abu dalam tepung buah lindur rata-rata sebesar 14014 % untuk penepungan langsung dan 2,6973% untuk penepungan yang menggunakan perendam larutan pemutih natrium metabisulfit.
Karbohidrat terdapat dalam jumlah dominan sebagai penyusun komposisi nilai gizi tepung buah lindur. Nilai rata-rata kadar karbohidrat sebesar 81,8904% untuk penepungan langsung dan 80,3763% untuk penepungan dengan perendaman dalam larutan pemutih. Kadar karbohidrat tepung buah mangrove yang melalui proses perendaman dalam larutan pemutih sedikit lebih rendah hal ini disebabkan ada sebagian karbohidrat yang berbentuk pati ikut terbuang bersama larutan perendam. Kadar karbohidrat yang tinggi pada tepung buah lindur menunjukkan tepung ini juga mempunyai nilai kalori tinggi sehingga bisa digunakan sebagai alternatif sumber pangan baru berbasis sumber daya lokal. Untuk penelitian lebih lanjut bisa dihitung nilai kalorinya dengan menggunakan Bomb Kalorimeter.
Kadar serat kasar pada tepung buah lindur rata-rata sebesar 0,7371% untuk penepungan langsung dan 0,7575% untuk penepungan yang menggunakan larutan pemutih. Hasil ini telah memenuhi syarat mutu tepung berdasarkan SII yaitu sebesar 3%. Kadar serat yang tinggi pada tepung buah lindur dapat meningkatkan nilai tambahnya karena serat dalam bahan makanan mempunyai nilai positif bagi gizi dan metabolisme pada batas-batas yang masih bisa diterimaoleh tubuh yaitu sebesar 100 mg serat/kg berat badan/hari.
Kadar amilosa tepung buah lindur rata-rata sebesar 16,9126% untuk penepungan langsung dan 17,2771% untuk penepungan dengan menggunakan larutan pemutih. Dari hasil tersebut tepung singkong masuk kedalam golongan ”high amilose” karena mempunyai kandungan amilosa 10-30% (Wirakartakusumah dan Febriyanti, 1994). Kadar amilosa ini mendekati kadar amilosa beras yaitu 17% (Haryadi, 1999).
Hasil analisis kadar tanin rata-rata sebesar 25,2507mg tanin untuk penepungan langsung dan 23,0167mg tanin untuk penepungan menggunakan larutan pemutih. Hasil ini sangat aman untuk kandungan tanin dalam bahan makanan karena nilai ADI tanin sebesar 560 mg/kg berat badan/hari. Kadar tanin yang tinggi menyebabkan rasa pahit pada bahan makanan. Senyawa ini bersifat karsinogenik apabila dikonsumsi dalam jumlah berlebih dan kontinyu (Sofro dkk., 1992).
HCN merupakan senyawa yang paling ditakuti untuk dimakan. Karena senyawa ini dalam dosis 0,5-3,5 mg/kg berat badan dapat mematikan manusia. Karena dalam tubuh mampu mengganggu enzim sitokrom-oksidase yang menstimulir reaksi pernafasan pada organisme aerobik. Hasil rata-rata analisis kadar HCN dalam tepung buah lindur sebesar 31,68 ppm untuk penepungan langsung dan 12,96 ppm untuk penepungan dengan perendaman menggunakan larutan pemutih. Hasil ini telah memenuhi syarat standar mutu kandungan HCN dalam tepung yaitu sebesar 50 ppm. Hasil uji statistik kadar HCN dalam tepung menunjukkan beda nyata antar dua perlakuan. Kadar HCN tepung buah lindur dengan menggunakan larutan pemutih lebih rendah karena dalam pengolahannya melalui proses yang lebih panjang yang bisa mengurangi atau menghilangkan HCN dalam bahan pangan. Hal ini disebabkan karena HCN mempunyai sifat volatil, mudah menguap pada suhu rendah yaitu 260C sehingga senyawa ini sangat mudah dihilangkan melalui proses pengolahan. Kadar HCN dalam tepung buah lindur dalam batas yang sangat aman untuk dikonsumsi manusia.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa banyak spesies mangrove yang secara tradisional sudah dikonsumsi oleh masyarakat pesisir. Namun pemanfaatan mangrove sebagai bahan pangan hanya bersifat insidentil atau dalam keadaan darurat jika terjadi krisis pangan. Sebenarnya ada buah mangrove yang dapat secara spesifik di manfaatkan sebagai sumber pangan kaya karbohidrat yaitu dari spesies B. gymnorrhiza (lindur). Buah mangrove jenis lindur dapat dieksplorasi menjadi bahan pangan alternatif. Buah lindur yang diolah menjadi tepung kandungan gizinya terutama karbohidrat sangat dominan sehingga bisa dieksplorasi menjadi sumber pangan baru berbasis sumber daya lokal mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga bisa membudidayakan mangrove jenis lindur ini disepanjang garis pantai.
Tepung ini mempunyai derajat putih yang rendah tetapi justru dalam aplikasi untuk pengolahan pangan tidak dibutuhkan pewarna makanan. Secara alami buah lindur ini memberikan warna kecoklatan. Bisa dibentuk menjadi adonan yang kalis dan mempunyai kandungan amilosa hampir sama dengan beras yaitu sekitar 17%.
Tepung buah lindur yang dihasilkan sudah memenuhi kriteria tepung yang bisa dikonsumsi. Kadar air, karbohidrat abu dan serat sudah memenuhi standar SII untuk tepung. Faktor pembatas buah lindur antara lain tanin dan HCN juga berkurang secara signifikan dengan pengolahan sehingga tepung buah lindur ini aman untuk dikonsumsi.
SARAN
Sebagai saran, bahwa buah mangrove jenis lindur sangat potensial untuk dijadikan sumber pangan kaya karbohidrat. Tetapi belum banyak masyarakat pesisir yang memanfaatkannya. Hal ini disebabkan karena belum banyak informasi mengenai cara pengolahan dan nilai gizinya. Populasinyapun belum tersebar merata diseluruh pesisir Indonesia terutama di pulau Jawa. Sehingga dalam program rehabilitasi mangrove yang sedang digalakkan saat ini sebaiknya spesies ini juga disertakan sehingga kedepannya ada manfaat ekonomis langsung dan masyarakat lebih terpacu untuk memeliharanya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. Mangrove + Aquaculture : A framework for a SuistanableShoreline. http://www.courses.washington.edu/larescue/projects/mangrove/mangrove.htm.
Bengen, D., 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.
Bandaranayake, W.M., 2002. Bioactivities, Bioactive Compounds and Chemical Constituents of Mangrove Plants. AIMS Research. URL http :// www.aims.go.au/Australia Institute of Marine Science.
Bandaranayake, W.M., 2005. The Uses of Mangrove. AIMS Research. URL http:// www.aims.gov.au/Australia Institute of Marine Science.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. P.T. Pradnya Pramita, Jakarta.
Fortuna, James de, 2005. Ditemukan Buah Bakau Sebagai Makanan Pokok. http:// www. Tempointeraktif.com.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber HayatiPerikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23 (1) halaman 15 – 21. Maros. Sulawesi Selatan.
Haryono, T., 2004. Keripik Buah Mangrove, Upaya Melestarikan Hutan. Kompas, Selasa 5 Oktober 2004.
Pramudya, B., 2004. Strategi Diversifikasi Pangan. Makalah disajikan dalam Simposium Nasional V Hak Kekayaan Intelektual dan Standarisasi pada 28 September 2004, kerjasama RISTEK dan Universitas Diponegoro di semarang.
Purnobasuki, H., 2004. Potensi Mangrove Sebagai Tanaman Obat. http://www.uajy.ac.id/biota/abstrak/2004.
Sadana. D. 2007. Buah Aibon di Biak Timur Mengandung Karbohidrat Tinggi. Situs Resmi Pemda Biak Num for news_.htm.
Sukaryanto, A. 2006. Pertahankan Hutan Mangrove di Laguna. Suara Merdeka, 18 Juli 2006.
Widowati, S., L. Sukarno, Suarni dan O. komalasari, 2003. Labu Kuning : Kegunaan dan Proses Pembuatan Tepung. Makalah pada seminar Nasional & Pertemuan Tahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) 22-23 Juli 2003 di Yogyakarta.
wow...amazing...saya jadi ingat dengan kuliah sosio antropologi gizi. waktu itu dosen saya memberikan pertanyaan tentang nama makanan dari buah bakau yang bisa dijadikan cemilan, teman-teman saya berlomba untuk menjawab karena siapa yang menjawab bisa mendapat hadiah...dulu saya sempat ingin menjadikan bakau terutama buah bakau untuk bahan penelitian saya... memang saat ini perlu upaya untuk mengeksplore bahan pangan alternatif ...salut untuk teman-teman kesemat...
ReplyDeleteTerima kasih, ya. :-) Salam MANGROVER!
Deleteass mas saya zaenal saya dari universitas unindra pgri. saya sedang ada penelitin untuk membuat bahan pangan dari mangrove. mohon bantuan nya mas sya minta no kontak mas agar dapat d hub sekian trims.
ReplyDeleteBisa Follow @MasJamang http://twitter.com/MasJamang | Part @CV_KeMANGI http://twitter.com/CV_KeMANGI | Pelatihan | Tepung | Jajanan Mangrove | CP @KamtoWahyono http://twitter.com/KamtoWahyono | SMS 085721822151 | PIN 7539186D | FB https://www.facebook.com/KeMANGI | #SAVEMANGROVE
Delete