Dumai – KeSEMaTONLINE. Foto di samping ini adalah foto kenang-kenangan kami, pada saat melakukan kunjungan kerja dan studi banding ke Pusat Informasi Mangrove Bandar Bakau, Dumai. Foto ini kami abadikan pada saat berada di hutan mangrove Bandar Bakau bersama dengan kedua rekan kami dari dua organisasi yang berbeda, yaitu dari LSM Pecinta Alam Bahari (PAB) dan Unit Kegiatan Kemahasiswaan (UKK) Belukap Mangrove Club (BMC), milik Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Riau (UNRI).
Sebagai informasi, di Bandar Bakau - Dumai, daerah mangrovenya didominasi oleh jenis Xylocarpus granatum atau dalam istilah lokalnya lebih dikenal sebagai Nyirih. Dalam pengelolaan daerah ini, baru Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) saja yang berperan. Sementara itu, pihak lainnya termasuk pemerintah daerah setempat, kiranya belum banyak memberikan arahannya.
Spesies mangrove di Bandar Bakau sangat bervariasi, yang terdiri dari 9 komponen utama dan 23 jenis asosiasi mangrove. Mereka juga terus berupaya untuk mendatangkan benih mangrove dari semua jenis yang ada di Nusantara. Fauna mangrove yang ada di sini juga unik, karena terdapat Macaca, yang merupakan monyet-coklat yang hidup di daerah mangrove. Bandar Bakau seluas 8,5 hektar ini, dikelola oleh PAB. PAB menceritakan mengenai keinginannya untuk bisa mengelola tujuh buah pulau yang ada di sekitarnya yang memiliki potensi mangrove yang baik. Jarak ketujuh pulau tersebut tidaklah jauh, karena bisa dilihat dari Bandar Bakau, layaknya pantai Kartini dengan Pulau Panjang, di Jepara.
Selanjutnya, mereka juga berbagi cerita kepada kami bahwa PAB melakukan monitoring mangrove secara kontinyu setiap 3 bulan sekali. Menurut mereka, sekali melakukan monitoring ke tujuh pulau tersebut, maka mereka harus rela mengucurkan dana pribadi sebesar 1 juta setiap 2 hari. Dari ketujuh pulau tersebut, hanya ada 1 pulau saja yang berpenghuni, yaitu Pulau Payung. Sementara itu, enam pulau lainnya, yaitu Pulau Rampang, Mampu, Ketam, Atong, Baru dan Mentele, tidak berpenghuni. Menurut PAB, potensi mangrove yang masih bagus terletak di Pulau Mampu, Baru dan Ketam.
Sampai saat ini, mereka masih terus berjuang untuk mempertahankan hutan mangrove dari pembangunan pelabuhan Fase IV oleh PT. PELINDO, setelah sebelumnya mereka kalah dalam memperjuangkan hutan mangrove 20 ha yang telah diubah menjadi pelabuhan Fase III di tahun 1997 – 2006.
Pertemuan dengan ketiga sahabat kami ini, memberikan banyak informasi kepada kami, mengenai banyaknya hambatan, tantangan, tekanan dan kendala akan program-program rehabilitasi mangrove di Dumai. Semoga saja, ke depan, berbagai pihak yang masih memandang sebelah mata akan pentingnya manfaat mangrove bagi kehidupan manusia, bisa semakin menipis sehingga kehidupan mangrove di masa menadatang akan berjalan secara lebih baik dan cerah. Salam MANGROVER!
No comments:
Post a Comment