Semarang – KeSEMaTBLOG. Beberapa waktu yang lalu, di akhir Januari 2010, kami kembali melakukan monitoring program rehabilitasi mangrove di Dusun Tapak, Kecamatan Tugu Semarang. Seperti diketahui bersama bahwa KeSEMaT, kurang lebih setahun ini telah bekerjasama dengan Yayasan BINTARI dan FoE Jepang dalam rangka memitigasi bencana alam di pesisir Dusun Tapak, Semarang dengan melakukan pembibitan, penyuluhan, pembuatan pemecah gelombang dan penanaman mangrove.
Dengan pendekatan sosial-ekologi, dimana kapasitas KeSEMaT hanya sebagai konsultan dan bukanlah penentu kebijakan, maka kami memberikan arahan dan bimbingan kepada warga Tapak, dimana keputusan akhirnya adalah tetap diserahkan kepada warga setempat, sesuai dengan keinginan, kondisi budaya dan adat setempat.
Kali ini, di saat kami melewati lokasi penanaman Avicennia yang berada tak jauh dari pintu masuk Tapak, beberapa hal yang menjadi perhatian kami diantaranya adalah belum bisa maksimalnya pertumbuhan bibit Api-api yang telah ditanam warga setempat di sepanjang pinggiran area pertambakan mereka. Hipotesa kami adalah hal ini dikarenakan “tidak layaknya” bahan penanaman yang mereka gunakan, yaitu bibit Api-api cabutan, dan bukanlah dari persemaian. Selanjutnya, teknik penanaman yang terkesan asal-asalan juga menyebabkan keluslushidupannya tidak berjalan maksimal.
Selanjutnya, di saat kami melakukan survei bersama dengan para kelompok tani setempat, walaupun telah mendapatkan hasil yang optimal didalam pengerjaan pemecah gelombangnya, dimana Alat Pemecah Ombak (APO)-nya yang berasal dari ban bekas yang diikatkan dengan bambu telah berjalan dengan baik, namun kami agak khawatir dengan penanaman mangrove di sekitar Pulau Tirang, yang memiliki garis pantai yang “tidak stabil.” Walaupun kami masih sangat optimis akan kelulushidupan bibit mangrove yang ditanam di lokasi ini, namun gejala pergerakan arus dan gelombang yang tidak bisa diprediksi (yang seringkali menyebabkan “perubahan” garis pantai dan “mengangkat” pasir sehingga mengubur bibit-bibit mangrove yang telah pernah ditanam di sana oleh beberapa organisasi mahasiswa sebelumnya), sempat juga membuat kami sangat khawatir.
Untuk itulah, mengingat masyarakat Tapak tetap menginginkan diadakannya penanaman mangrove di Pulau Tirang ini, maka walaupun kami akhirnya “agak” menyetujuinya, kami meminta mereka agar menanamnya memakai ajir dari longsongan bambu (lihat foto di atas) dan ajir-biasa, dan dengan catatan tidak menjamin akan kelulushidupannya seratus persen. Hujan deras yang akhir-akhir ini mengguyur Semarang, membuat kami sangat khawatir akan ketahanan bibit-bibit mangrove dalam longsongan bambu, tersebut. Banjir dan pasang, setiap saat bisa saja menenggelamkan ribuan bibit-bibit mangrove yang baru saja ditanam.
Terlepas dari semua permasalahan, kendala dan ancaman yang ada dalam program rehabilitasi mangrove di Tapak, kami telah menginformasikan kepada warga Tapak bahwa program monitoring berupa penyulaman mangrove dengan cara mengganti bibit-bibit mangrove yang telah rusak dan mati dengan yang baru,adalah hal yang paling penting. Untuk itulah, apabila kelulushidupan bibit mangrove di Tapak, pada nantinya tidak begitu menggembirakan, maka kelompok tani Tapak telah mempersiapkan ribuan bibit-mangrove-baru yang siap menggantikannya. Semangat MANGROVER!
No comments:
Post a Comment