Semarang - KeSEMaTBLOG. Kejadian ini, terjadi dua tahun yang lalu, di saat para KeSEMaTERS melakukan penelitian tentang Struktur Komunitas Mangrove di daerah Menco, Demak Jawa Tengah. Empat ekor ular, dua di atas, yang bergelantungan di batang Avicennia dan dua lagi di bawah, di antara perakarannya yang rapat, secara “tiba-tiba” menghampiri kami dan membuat kami harus lari tunggang langgang. Kami terpaksa harus meninggalkan peralatan penelitian kami hingga setengah jam kemudian sembari menunggu “hilangnya” ular-ular tadi, dari lokasi pengambilan sampel, kami.
Ular warna hitam yang disebut masyarakat setempat sebagai Ular Wideng (UW) itu, sempat mengacaukan pekerjaan kami, namun untunglah kami bisa mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. UW sebenarnya adalah jenis kepiting Episesarma yang bersifat karnivora. Di Demak (dan mungkin sebagian wilayah di Jawa), kepiting Episesarma ini disebut dengan Wideng. Untuk itulah, ular yang memangsa kepiting ini, kemudian disebut juga dengan UW.
Setelah perjumpaan kami dengan UW itu, setidaknya kami bisa mengambil hikmah sekaligus jadi tahu, bahwa daerah Menco memiliki populasi ular yang tidak sedikit. Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi sampling, seringkali kami melihat dua, tiga ular secara bergerombol dan sendiri-sendiri bergelayutan di atas Rhizophora dan berenang-renang di pinggiran sungai yang sedang kami lewati dengan perahu kecil.
UW seringkali ditemukan memangsa kepiting Wideng di Menco. Kepiting Wideng, di Surodadi Demak disebut-sebut sebagai salah satu dari tiga hama pengganggu pertumbuhan bibit-bibit mangrove. Bersama dengan Wedhus (baca: kambing) dan Wong (baca: orang), ketiganya merupakan tiga serangkai yang seringkali menyusahkan petani tambak bandeng silvofishery, di sana.
Tak hanya di Demak, UW juga pernah kami jumpai di Tugu, Semarang. Pada saat kami menyusuri pematang tambak di Tugu, lubang-lubang berdiameter kurang lebih 5 cm nampak mendominasi di sebuah titik. Dan ini, cukup menarik perhatian kami. Penasaran ingin tahu ada apa di dalam lubang-lubang itu, kami melongokkan kepala ke sebuah lubang, dan kepala ular serta merta menyembul ke luar. Kaget bukan main, kami segera berhamburan tak tentu arah.
Selanjutnya, di Rembang. Kami juga pernah menemui UW yang berwarna hitam bersisik mengkilat, namun dalam kondisi yang sudah tidak hidup. Kali ini, kami berani memegangnya dan mengabadikannya dalam sebuah foto.
Semat, sebuah desa berjarak kurang lebih setengah kilometer dari Teluk Awur Jepara, tempat pertama kalinya para KeSEMaTERS mengadakan studi mangrovenya, juga dikenal dengan populasi ularnya yang banyak. Pernah, di tahun 2007, di saat kami mencoba mengidentifikasi jenis-jenis mangrove di sana dan membentangkan tali transek, secara tiba-tiba ular berwarna putih (dugaan kami, ini bukan UW), melintasi yang area transek, kami.
Tak hanya itu, sewaktu kami di Tanggul Tlare Jepara, pada saat pelaksanaan proyek Mangrove Movie (MM) 2004: pembuatan fllm dokumenter fauna-mangrove berjudul “Di Bawah Akar Bakau,” proyek kerjasama KeSEMaT dengan Wetlands International Indonesia Programmes (WI-IP), seekor UW (lihat di atas) bahkan tak memangsa Wideng lagi, melainkan Ikan Gelodok. Ikan jenis Gobiidae ini, serta merta tak berkutik, dijadikan santapan makan malam UW.
Beraneka ragamnya jenis ular yang ada di mangrove, sejatinya mengindikasikan bahwa daerah mangrove menyimpan keanekaragaman fauna yang sangat kaya. Keberadaan ular-ular ini di mangrove, pastinya menjaga keseimbangan rantai-rantai makanan yang ada di mangrove.
Jadi, walaupun sebagian dari kita mungkin ada yang masih takut dengan keberadaan ular-ular yang ada di mangrove, namun ada baiknya juga apabila kita juga harus bersyukur bahwa dengan kehadirannya. Mengapa demikian? Karena, hal ini berarti membuktikan bahwa mangrove wajib dilindungi demi menjaga keanekaragaman dan kehidupan ular dan fauna lainnya, yang bertempat tinggal di mangrove. Salam MANGROVER!
No comments:
Post a Comment