Demak - KeSEMaTBLOG. Pada saat kami mengunjungi Desa Surodadi Demak, beberapa minggu yang lalu, kami sempat “berbangga” karena berhasil menjadi saksi bisu penyerangan salah satu hama mangrove, bernama Wedhus (baca: Kambing). Seperti diketahui, bersama dengan Wideng (baca: Kepiting) dan Wong (baca: Orang), Kambing termasuk kedalam kategori hama 3W (Wedhus, Wideng dan Wong), yang seringkali dikeluhkesahkan kelompok tani tambak Surodadi Demak, kepada KeSEMaT.
Peristiwanya terjadi di pagi hari (kurang lebih pukul 09.00 WIB), pada saat kami mau melakukan pelatihan penelitian teknik sampling mangrove. Di saat kami berjalan kaki bersama, menyusuri tambak-tambak bandeng yang dipadu padan dengan bibit-bibit mangrove di sepanjang pematangnya, kami melihat tiga ekor Kambing sedang asyik menikmati dedaunan bibit-bibit mangrove. Satu ekor kambing berwarna hitam, dan dua lainnya putih yang diselingi dengan corak-bundar-coklat di punggung dan kakinya. Walaupun lehernya diikat dengan tali pada sebuah pohon, namun para Kambing itu tetap saja dengan leluasa menyantap sarapan paginya.
Lihatlah foto di atas ini. Salah seorang KeSEMaTERS sedang “menghardik” seekor kambing untuk tak lagi memakan daun-daun mangrove yang sedang tumbuh. Namun demikian, kiranya hardikan dia ini, tak lagi digubris oleh Kambing karena terbukti sang Hewan terus saja menikmati breakfast-nya. Maka, selanjutnya dengan terpaksa, KeSEMaTERS harus melakukan kontak fisik dengan dia, dengan cara menggendongnya ke tengah jalan agar dia tak lagi memangsa bayi-bayi mangrove yang sedang tumbuh. Selain itu, mereka juga memperpendek jarak tali ke bibit-bibit mangrove, agar Kambing tak lagi bisa menjangkaunya.
Dan, usaha ini berhasil. Tapi, puluhan batang mangrove sudah terlanjur terlihat gersang tanpa daun-daun muda. Ini berarti, Kambing telah sukses menghabiskannya dan tak menyisakannya satu lembarpun. Sedih rasanya, tapi apa mau dikata. Semuanya sudah terjadi. Andaikan saja, tadi KeSEMaTERS datang lebih pagi, mungkin mereka masih bisa mencegah terjadinya pemangsaan “brutal,” ini.
Tak ada yang perlu disalahkan dalam peristiwa ini. Justru, kejadian ini adalah sebuah pembelajaran bagi kita semua bahwa setelah melakukan penanaman, program-program penyulaman dan pemeliharaan terhadap bibit-bibit mangrove yang telah ditanam, wajib selalu dilakukan. Hal ini sangat perlu untuk mencegah adanya kelulushidupan yang minimal dan tak sesuai target (lebih dari 90%).
Anda tentu bisa membayangkan, andaikan saja puluhan bibit-bibit mangrove tadi dibiarkan begitu saja tanpa disulam dengan bibit yang baru, pastilah hasil penanaman mangrove di Surodadi, tidak akan bisa mencapai hasil yang maksimal. Padahal, Surodadi adalah desa pemenang lomba intensifikasi pertambakan tingkat nasional, dimana pengaturan penanaman mangrove dengan area pertambakannya dijadikan teladan bagi daerah lainnya di Indonesia.
Memang, masyarakat di desa ini telah sadar dengan hal itu. Setiap kali mangrove-mangrovenya ada yang layu dan atau mati karena sebab-sebab tertentu, maka dengan sigap mereka segera turun ke lapangan dan menggantinya dengan yang baru.
Tak ingin terlambat dalam pelatihan transek mangrove, maka setelah menempatkan sang Kambing di tempat yang semestinya, para KeSEMaTERS melanjutkan perjalanannya menuju laut yang berjarak kurang lebih satu kilometer. Sepertinya, mereka tak terlalu khawatir dengan nasib para bayi-bayi mangrove yang dimangsa Kambing. Mereka yakin, bahwa Kelompok Tani Tambak Subur Makmur dan masyarakat pesisir Surodadi, pasti akan membereskan semuanya.
Ah, andaikan saja semua kelompok tani di pesisir dunia seperti mereka, maka KeSEMaT tak usah bekerja keras untuk berjuang mengkampanyekan sertifikasi Mangrove Safe (MS) ke seluruh penjuru bumi, ini. Salam MANGROVER!
No comments:
Post a Comment