Semarang - KeSEMaTBLOG. Pada saat bertemu dengan seorang Bapak dari sebuah dinas lingkungan, kami sekali lagi mendapatkan sebuah pertanyaan yang sudah seringkali dipertanyakan kepada kami, yaitu “Mengapa KeSEMaT masih saja betah melakukan program penanaman mangrovenya di Teluk Awur, Jepara padahal di berbagai lokasi di Semarang dan Jepara masih banyak lagi titik-titik abrasi kritis yang perlu ditanami dengan mangrove. Jadi, jangan menanam di Teluk Awur melulu?!” Sambil tersenyum, kami hanya menyampaikan sebuah jawaban singkat, “Bapak. Kami memang ANTI NOMADEN (ANNOM).”
Agak bingung, sang Bapak kembali bertanya, apakah arti jawaban kami tadi. Dan, dengan tenangnya kami memberikan penjelasan bahwa KeSEMaT memang memiliki konsep yang berbeda dengan beberapa dinas lingkungan, terutama yang memiliki kaitan langsung dengan pengelolaan mangrove. Apabila mereka senang sekali menanam di banyak lokasi, dengan cara NOMADEN, yaitu menanam di satu lokasi kemudian menanam lagi di lokasi lainnya dan demikian seterusnya, sehingga agak melupakan program pemeliharaan mangrove mereka - yang sejatinya lebih penting -, maka, kami tidaklah demikian.
Kami lebih suka menanam dan memelihara mangrove kami di satu lokasi dulu. Baru, setelah di satu lokasi itu mangrovenya sudah lebat, menjadi hutan dan fungsi ekologisnya berangsur pulih, maka kami akan berpindah ke lokasi lainnya. Karena konsep seperti inilah, maka dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008, KeSEMaT hanya memfokuskan program rehabilitasi mangrovenya di Desa Teluk Awur, Jepara untuk membuat sebuah Pusat Pendidikan Mangrove bernama Mangrove Education Center of KeSEMaT (MECoK), yang di tahun 2009 ini sudah bisa dilihat dan dinikmati hasilnya. Kesuksesan KeSEMaT dalam membuat MECoK, tentunya tak lepas dari konsep ANNOM yang dijaga kualitasnya dengan sangat baik.
MECoK, yang dulunya adalah “lapangan bola,” kini adalah tempat tinggalnya ribuan burung, jutaan kepiting, dan milyaran flora dan fauna mangrove lainnya, yang kini semakin betah saja, untuk hidup dan berdiam diri di lokasi mangrove yang “mantan lapangan bola,” ini.
Konsep penanaman mangrove NOMADEN, yang suka dilakukan oleh beberapa pihak, yang menjunjung tinggi semangat “PROYEKERS”, bagi kami tak ubahnya hanya membuang uang, pikiran dan tenaga, saja. Setelah melakukan penanaman mangrove yang diklaim berjumlah puluhan ribu bahkan jutaan batang, maka program pemeliharaan seringkali dilupakan. Celakanya, ukuran keberhasilan penanaman mangrove yang bersifat PROYEKERS ini, hanya diukur dari berapa banyak jumlah buah atau bibit mangrove yang telah ditanam, dan bukan dari berapa besar persentase kelulushidupannya. Tentu, ini adalah suatu hal yang aneh sekali.
Bagi kami, melakukan penanaman mangrove dengan mengusung prinsip “Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit,” adalah jauh lebih baik daripada harus menjalankan proses penanaman mangrove yang sekaligus-banyak dan tanpa pemeliharaan yang maksimal, seperti itu.
Sebuah logika kami kadang mempertanyakan, bagaimana mungkin melakukan pemeliharaan jutaan bibit mangrove padahal kelompok tani yang diserahi tugas dan tanggung jawab hanya berjumlah puluhan orang, saja. Maka, sebuah pendekatan PROYEKERS, yang bagi kami sangat tidak mendidik, sekali lagi harus dengan sangat terpaksa diterapkan lagi oleh sang Pelaksana Proyek, sehingga melunturkan konsep gerakan moral, mereka (baca: kelompok tani).
Selanjutnya, penanaman mangrove yang hanya berjumlah ribuan saja, namun dilaksanakan secara periodik setiap tiga bulan sekali, yang dibarengi dengan program penyulaman dan pemeliharaan, kiranya membuat program rehabilitasi mangrove kita menjadi sangat terukur sehingga kitapun bisa dengan mudah mengontrol kelulushidupannya. Tentunya, hal terakhir ini, tak akan bisa dijalankan apabila sistem PROYEKERS, masih saja kita anut.
Konsep ANNOM, sejatinya tak hanya dilakukan oleh KeSEMaT, semata. Lihatlah Bapak Suyadi, sang Profesor” Mangrove dari Rembang. Tengoklah juga Bapak Sururi dan Nurudin dari Semarang dan Demak. Ketiga “Pahlawan Mangrove” yang telah memiliki nama dan reputasi baik, di tingkat nasional ini, tak pernah melakukan penanaman mangrove keluar dari area kerjanya, melainkan hanya berkutat di Pasar Banggi (Rembang), Tugu (Semarang) dan Surodadi (Demak) saja, dengan tujuan untuk memaksimalkan hasil kerjanya.
Seperti KeSEMaT, beliau-beliau di atas, memang sengaja menganut konsep ANNOM, untuk menjaga kualitas kerja mereka dalam menyulap sebuah lokasi mangrove, menjadi lebat kembali. Pun, kalaupun ada program penanaman mangrove di luar area kerja mereka, seperti KeSEMaT, itu hanya dilakukan sebatas pada pola pendampingan belaka, untuk mengajarkan kepada masyarakat yang didampingi agar mau dan mampu menerapkan konsep ANNOM di daerah mereka masing-masing.
Konsep ANNOM ini, juga kami buktikan dengan mulai “hengkangnya” kami dari Teluk Awur, di tahun 2009, ini. Setelah Teluk Awur telah menjadi hutan mangrove yang sangat lebat sehingga tak ada lagi titik untuk lokasi penanaman bibit-bibit mangrove, maka di sebuah desa, yang berada persis di sebelah Teluk Awur, yaitu Tanggul Tlare, pada akhirnya kami memutuskan untuk mengelolanya, laksana Teluk Awur. Dan, pada bulan Juli dan Agustus ini, dua kali program konservasi mangrove KeSEMaT, secara berturut-turut telah sukses dilaksanakan di lokasi ini. MR 2009 (lihat foto di atas) dan KGTC II 2009 adalah kedua program itu.
Kedepan, Tanggul Tlare adalah target selanjutnya untuk kami terapkan konsep ANNOM, ini. Harapannya, Tanggul Tlare akan menjadi Teluk Awur kedua, dimana sebuah kisah keberhasilan program rehabilitasi mangrove, telah dengan sangat baik ditorehkan oleh KeSEMaT.
Setelah panjang lebar kami menjelaskan hal ini kepada sang Bapak, akhirnya si Bapak mulai nampak mengerti dan sekiranya bisa, dia berjanji akan mencoba untuk mengadopsi konsep kami ini, di institusi tempatnya bekerja. Salam MANGROVER!
No comments:
Post a Comment