Semarang - KeSEMaTBLOG. Bagi para Peserta MANGROVE REpLaNT 2009: Seminar Nasional, Pelatihan dan Penanaman Mangrove, tentu saja tidak akan asing lagi dengan kalimat yang tertera di belakang T-Shirt MR 2009. Tulisan di samping ini berbunyi: “Mangrove for The Community.” Bagi sebagian dari kita yang tidak terlalu mementingkan arti dari kalimat ini, mungkin akan memaknainya dengan sikap menganggukkan kepala saja, tanpa mau mengerti lebih lanjut akan arti di dalamnya. Namun, bagi Anda yang ingin tahu arti “Mangrove for The Community” yang sebenarnya, maka di bawah ini adalah pembahasannya. Selamat mencermati.
Mangrove, baik itu ekosistem maupun pengelolaannya, sejatinya adalah “milik” masyarakat pesisir. Untuk itu, setiap kali program dan proyek mangrove diundangkan oleh seorang pelaksana proyek, tak peduli dari pemerintahan, LSM, organisasi mahasiswa, swasta dan institusi lainnya, maka mereka sudah selayaknya harus bisa dan mampu bekerjasama dengan masyarakat sekitar, dengan baik dan bijak. Kasus-kasus pelanggaran pelaksanaan proyek mangrove seperti penempatan warga pesisir sebagai obyek semata, adalah dosa-besarnya-pelaksana-proyek. Apabila ini terjadi, maka konsep mangrove yang seharusnya dikelola dari, oleh dan untuk masyarakat, tentu saja dilupakan-sekali, oleh sang Pelaksana Proyek.
Para pelaksana proyek dan program mangrove dewasa ini, hanya mementingkan uang semata. Begitu proyek mangrove yang hanya berumur rata-rata tiga bulan itu selesai, dan uang sudah ditangannya, maka tamatlah sudah campur tangan mereka di area mangrove. Tak peduli dengan program pemeliharaan mangrove yang seringkali diterlantarkan, dengan seenaknya mereka meninggalkan mangrove tanpa mau tahu bahwa untuk hidup dengan baik, masa pemeliharaan mangrove harus dikontrol sampai dengan lima tahun setelah program penanaman mangrove yang hanya seremonial, belaka.
Selanjutnya, satu hal yang paling kami takuti pada saat bekerja di mangrove adalah sebuah kemunafikan dan inkonsistensi kerja. Setelah seremonial penanaman mangrove yang mendatangkan para petinggi di negeri ini selesai, dan sesudah ratusan bibit mangrove dari jutaan bibit mangrove yang diklaim akan ditanam, ditanam, maka selesai sudah pekerjaan kita. Klaim penanaman jutaan bibit mangrove yang kita undangkan kepada publik, namun nyatanya hanya ditanam ratusan buah saja, adalah sebuah kemunafikan kita terhadap mangrove. Dan, sedihnya ini selalu saja kita lakukan setiap kali program-program penanaman mangrove kita inisiasi.
Sementara itu, sebuah inkonsistensi kerja, juga pasti kita lakukan di saat kesibukan kita mulai menumpuk. Selesai melakukan penanaman segelintir bayi mangrove, maka tamatlah sudah hubungan kita dengan bibit-bibit mangrove. Jangankan datang lagi ke area penanaman yang awalnya begitu akrab dengan kita, menjenguk barang satu jam saja, tak akan mungkin kita lakukan lagi, mengingat segepok uang sudah kita dapatkan dari “Proyek Penanaman Jutaan Mangrove,” ini.
Untuk urusan mangrovenya mati dan atau roboh diterjang gelombang laut dan teritip yang ganas, bukan menjadi masalah kita lagi. Toh, kita sudah menyerahkan kewajiban penanaman mangrove dan pemeliharaaannya kepada masyarakat sekitar. Jadi, masyarakat sekitarlah yang patut disalahkan apabila terjadi kematian ribuan bibit di masa pemeliharaannya. Astagfirullah!
Apabila prinsip yang begini ini, yang selalu ada di dalam mindset kita, maka celakalah mangrove dan masyarakat pesisir, di sana. Apakah kita tidak menyadari, bahwa sebelum dilakukan penanaman mangrove, sudah sewajibnya bagi kita untuk harus mau bekerja ekstra keras dalam menguatkan kelembagaan kelompok kerjanya. Apa pasal? Di beberapa lokasi di Semarang, misalnya, masyarakat pesisir kita itu, ternyata masih sangat minim sekali pengetahuannya dalam berorganisasi dan memanajemen lembaga dan atau kelompok taninya. Maka, sebuah jargon KeSEMaT yaitu “Kuatkan Dulu Kelompok Taninya Jangan Asal Tanam Jutaan Bibit Mangrovenya!,” berkali-kali pula kami informasikan kepada para mitra kerja, kami.
Hati-hati. Jangan asal menanam jutaan mangrove saja! Begitu jutaan bibit mangrove ditanam dan sesudahnya tak ada lagi yang memeliharanya, karena tak berfungsinya manajemen kelompok tani sekitarnya, maka akibat buruk sudah pasti akan ditemui. Tak hanya puluhan juta mangrove saja yang hilang, tapi ratusan juta uang kita juga akan hilang melayang. Sia-sia!
Mengingat hal ini, maka di setiap kali program-program penanaman mangrove yang kami lakukan, maka sebisa mungkin kami menjauhi dua buah hal di atas, yaitu kemunafikan dan inkonsistensi kerja. Untuk menghindari kemunafikan, maka kami tak lantas memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat sekitar untuk setiap ribuan (bukan jutaan) batang bibit mangrove yang kami tanam, melainkan terus saja mendampingi mereka dengan cara mendatangi mereka di setiap bulannya untuk mengecek kelembagaan dan merawat bayi-bayi mangrove kami, secara bersama-sama.
Selanjutnya, kami juga tak terlalu peduli dengan para petinggi negeri, pun seorang expert mangrove yang kami undang sebagai pembicara. Lalu, kami juga tak perlu seorang profesor lingkungan-luar-negeri, bahkan tak juga berguna seorang kepala departemen lingkungan di tingkat pusat. Karena kami lebih sayang dengan nyawa bibit-bibit mangrove kami, maka kami lebih memilih para pengurus harian kelompok tani, para Ibu-Ibu PKK mangrove dan rekan-rekan LSM lingkungan lokal, yang kami rasa lebih aplikatif ilmunya dan tak sekedar basa-basi apalagi seremonial, belaka.
Konsep pengelolaan mangrove berbasis “kearifan lokal” seperti inilah yang memang sengaja kami pilih untuk menjaga kualitas pekerjaan mangrove, kami. Bekerja dengan orang-orang lokal dan sebisa mungkin menghindari orang-orang “luar,” terbukti manjur di Teluk Awur Jepara, dimana sebuah Mangrove Education Center of KeSEMaT (MECoK) sebaga Pusat Pendidikan Mangrove KeSEMaT untuk program kampanye mangrove kami kepada masyarakat, telah berhasil kami bangun dengan sangat bersahajanya, melalui semangat gerakan moral, tanpa kemunafikan sembari membuang jauh sikap inkonsistensi kerja. Salam MANGROVER!
Bravo kesemat artikelnya cukup panjang tapi blm tampak solusi riel untuk melestarikan mangrove di garis pantai. dari contoh nyata pelestarian ternyata di beberapa daerah ada talenta individu yang justru sangat luar biasa menghijaukan pantai yang sebelumnya luar biasa parah kerusakannya dan mereka ini sebelumnya tidak tersentuh sama sekali dengan berbagai bentuk bantuan baik dari pemerintah ~LSM~ atau para akademisi dan teori teori ilmiah. Pertanyaannya adalah bagaimana membangkitan talenta kesadaran individu tsb, apa motiv para talenta itu, kenapa mereka bisa begitu gigih tetap consisten meskipun semua orang mencemooh kinerja mereka pada awalnya. apa mereka semacam malaikat yang diturunkan Tuhan untuk menjaga itu semua. Mari kita gali itu semua semoga sebelum ajal menjemput kita diberi kesempatan olehNya untuk memperbaiki kesalahan kita di masa lalu untuk kembali introspeksi apa yang sdh kita lakukan demi pantai yang lestari. Tabik
ReplyDeleteSalam MANGROVER!
ReplyDeleteTerima kasih atas dukungannya kepada KeSEMaT, Bapak Achid.
Kami berpikir, tidak usah terlalu mencari alasan dan atau motif dibalik kinerja mereka yang sungguh luar biasa dalam melestarikan mangrove.
Ayo, Bapak Achid. Marilah mulai dari diri Anda sendiri dan diri kita masing-masing.
Salam MANGROVER!