Semarang - KeSEMaTBLOG. Untuk bisa menyelamatkan ekosistem mangrove kita yang semakin hari semakin lebar wilayah kerusakannya, biasanya para petinggi kita, yang memiliki banyak dana, akan melakukannya dengan membeli bibit mangrove berjumlah puluhan ribu untuk kemudian ditanam di sebuah daerah yang terkena abrasi. Dengan hanya mengejar jargon “Semakin banyak bibit mangrove yang ditanam, maka akan semakin bagus pula image kita di mata orang lain,” belaka, mereka sangat bangga dengan program penanaman mangrovenya itu, sehingga terkadang melupakan aktivitas pemeliharaannya.
Setelah penanaman, puluhan ribu bibit mangrove yang baru saja ditanam itu seringkali banyak yang mati, karena tidak terurus dengan baik, akibat dari “tidak berdayanya” kelompok tani di sekitarnya yang hanya berjumlah puluhan saja, namun harus “dipaksa” untuk memelihara puluhan ribu bayi mangrove, itu.
Untunglah, kami tidak melakukan hal yang demikian. Karena keterbatasan kami ini, kami pada akhirnya hanya mampu memberikan hati kami saja, dalam turut serta menyelamatkan mangrove kita dari kepunahannya. Bagaimana caranya (?) Caranya gampang, kami hanya menyisihkan uang jajan kami yang setiap bulan masih saja diberikan oleh orang tua kami.
Secara bahu membahu, kami membiayai program-program mangrove kami, secara mandiri. Memang, untuk kelestarian mangrove di masa mendatang, kami tak takut untuk mengeluarkan sedikit uang kami, demi membantu mereka keluar dari keterpurukannya.
Memang, kami tidak mampu untuk membeli bibit puluhan ribu batang bibit mangrove, pun kami juga tak mungkin untuk bisa mendatangkan banyak petinggi negeri ini, untuk bersedia datang di acara seremonial penanamannya. Tapi, walaupun begitu, kami mampu melakukan program pemeliharaan mangrove kami dengan sangat menakjubkan. Hal terakhir inilah yang kiranya menjadi senjata andalan kami, sehingga kami pada akhirnya mampu membangun pusat pendidikan mangrove bernama MECoK (Mangrove Education Center of KeSEMaT), di sebuah desa kecil di Jepara, bernama Teluk Awur.
Di MECoK, kami mempraktekkan secara langsung konsep gerakan moral mangrove kami, yaitu sebuah konsep rehabilitasi mangrove yang tumbuh dan berkembang dari hati kami tanpa mengharapkan imbalan apapun seperti honor ataupun gaji sehingga gerakan mangrove kami datangnya murni dari bawah dan bukannya inisiasi pemerintah.
Selanjutnya, kami tak pernah menanam hingga puluhan ribu bibit mangrove yang pada akhirnya membuat kami kewalahan dalam melakukan pemeliharaannya. Sebaliknya, setiap kali program penanaman mangrove kami jalankan, maka kami hanya menanam kurang lebih 3500 sampai dengan 5000 bibit mangrove saja. Lalu, setelah ditanam, bibit-bibit mangrove itu, di setiap minggunya terus saja kami pelihara. Sampai dengan sekarang, dari 3500 bibit mangrove itu, sudah beranak pinak menjadi jutaan pohon mangrove baru.
Kesimpulannya, kami memang sengaja untuk hanya menanam sedikit saja dan memperbanyak memeliharanya sehingga kelulushidupan bibit-bibit mangrove kami bisa mencapai hasil yang maksimal. Hal inilah yang kiranya sulit diraih apabila yang terjadi adalah konsep yang sebaliknya. “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit,” itulah sebuah pepatah yang bisa disematkam kepada konsep gerakan moral kami.
Hati kami, itulah yang coba kami berikan kepada mangrove. Maka, disaat ratusan bibit mangrove yang telah kami tanam diterjang gelombang, mangrove tak perlu menunggu terlalu lama untuk bisa mendapatkan perhatian dan hati kami. Dengan hati yang ikhlas, kami segera bertindak cepat, dengan cara menyisihkan uang jajan kami kembali, untuk kemudian membeli bambu untuk ajir, menggenjot motor kami ke MECoK, mengambil ribuan bibit mangrove baru dan bergegas ke lokasi kerusakan, untuk mengganti bibit-bibit mangrove yang mati dengan bibit-bibit mangrove yang baru.
Hal seperti ini, tentunya tak mungkin dilakukan oleh petinggi kita di atas sana, yang apabila menemui hal yang serupa ini, maka mereka harus menganggarkan terlebih dahulu dananya, untuk kemudian baru tahun depan dan depannya lagi dan tahun depannya lagi dan tahun depannya lagi, baru bisa terlaksana program penggantian bibit-bibit mangrovenya. Konsep rehabilitasi seperti ini, tentu saja konsep rehabilitasi bukan dengan hati tetapi dengan money. Sedihnya, konsep rehabilitasi seperti inilah yang banyak terjadi di negeri ini.
Kami kadang berandai-andai. Kapankah sebuah gerakan mangrove seperti yang telah kami lakukan ini, yang datangnya murni dari komunitas kami sendiri dan bukannya inisiasi dari petinggi negeri, konsep dan pelaksanaannya bisa mendominasi (?). Apabila di masa mendatang, hal ini bisa terjadi di setiap titik kerusakan mangrove di Indonesia, maka masa depan mangrove tentunya akan bisa semakin cerah lagi. Mari, selamatkan mangrove kita dengan hati! Salam MANGROVER!
No comments:
Post a Comment