Pak Yadi menceritakan mengenai pengalamannya dalam mengkoservasi ekosistem mangrove di daerahnya selama kurang lebih 30 tahun. Dari ceritanya, saya menyadari bahwa dari tahun 70-an sampai sekarang, KTSM telah mengkonservasi daerah mangrovenya dengan usahanya sendiri. Secara swadaya, mereka melakukan rehabilitasi, konservasi dan pengelolaan daerah mangrovenya.
Memang, telah terjadi penggundulan hutan sehingga gelombang bisa dengan leluasa menerjang garis pantai dan membuat tambak-tambak mereka mengalami kerusakan bahkan hilang. Pak Yadi dan masyarakat Desa Pasar Banggi memiliki banyak tambak karena bekerja sebagai petani garam (di musim kemarau) dan petani ikan bandeng (di musim hujan). Sementara itu, pekerjaan mereka sebagai petani mangrove hanyalah pekerjaan sambilan untuk memenuhi pesanan bibit mangrove.
Untuk menyelamatkan tambak-tambak mereka, mereka mendirikan suatu wadah yang kemudian diberi nama dengan KTSM. Akhirnya, setelah 30 tahun, KTSM berhasil merehabilitasi kurang lebih 10 hektar daerah mangrove yang rusak karena abrasi dan penebangan liar. Kini, mangrove tumbuh lebat dan menjelma menjadi sabuk hijau tebal, melindungi tambak-tambak mereka dari bahaya abrasi.
Kesuksesan ini tak lepas dari peraturan yang dibuat oleh KTSM yaitu "Siapa saja yang berani mencabut dan atau menebang mangrove, maka mereka harus menanam 30 buah bibit mangrove baru.”
Kisah sukses KTSM dan keindahan hutan mangrove Desa Pasar Banggi, menarik perhatian banyak orang untuk datang dan berkunjung ke sana. Saat ini, pengunjung lokal dan internasional banyak datang ke Rembang, untuk melakukan penelitian, belajar cara merehabilitasi lahan yang terabrasi, memesan bibit mangrove atau sekedar berjalan-jalan melihat keindahannya.
Sayangnya, meskipun mereka telah sukses mengkonservasi dan merehabilitasi daerah mangrovenya, KTSM belum mampu memaksimalkan potensi ekonomi yang dimiliki mangrove. Mereka hanya menjualnya sebagai bibit mangrove siap tanam, lain tidak.
KTSM pernah menggunakan getah Excoecaria spp sebagai penyamak kulit, namun karena alasan kurang menguntungkan dan tak mendatangkan uang maka kegiatan pengambilan getah dihentikan. Spesis mangrove lainnya tidak dimaksimalkan fungsinya karena keterbatasan pengetahuan mereka mengenai kegunaan mangrove.
Sebenarnya, Pak Yadi ingin mewujudkan impiannya untuk membangun daerah mangrovenya layaknya Pusat Informasi Mangrove (PIM) di Bali. Sayang sekali, impiannya ini harus ditunda dan belum bisa terlaksana karena tidak adanya dana dan ketidaktahuan bagaimana tata cara pembangunannya. Sangat disayangkan, usaha besar yang mulai dirintis oleh KTSM selama kurun waktu puluhan tahun itu, sedikit sekali mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai pihak.
Untuk membantu KTSM dan sebagai rasa terima kasih, penghargaan dan dukungan saya dan rekan-rekan KeSEMaT kepada KTSM, akhirnya pada tanggal 19 November 2005, kami menjadi fasilitator dan berhasil mengadakan Sarasehan Akbar Mangrove (SAM) dan mempertemukan KTSM dengan Anggota Komisi IV DPR RI dan Pemerintah Daerah Rembang dengan tujuan untuk membantu memecahkan segala permasalahan yang dihadapi sekaligus meningkatkan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan mangrove KTSM.
Acara ini selain dihadiri oleh anggota Komisi IV DPR RI Jakarta dan pemerintah daerah Rembang, juga dihadiri oleh perwakilan dari Dinas Kehutanan (DISHUT), Dinas Kelautan dan Perikanan (DISKANLUT), Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Rembang, LSM Balas Rembang, Forum Lintas Nelayan dan Pesisir (FLNP) Jepara, mahasiswa perikanan Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, KeSEMaT dan rekan-rekan pers, perwakilan dari media massa cetak dan elektronik. Setelah SAM, saya dengar DPR RI telah berkunjung lagi ke KTSM Rembang dan menetapkan kawasan mangrove KTSM menjadi daerah percontohan mangrove di Jawa Tengah. Amin. Semoga dengan adanya SAM, uluran tangan dan dukungan dari berbagai pihak, terus mengalir ke Rembang, ke para pahlawan mangrove kami, di sana. Bravo Mangrover!
saya sangat tertarik dgn blog ini, mohon informasi.. soal potensi ekonomi mangrove..
ReplyDelete