24.3.07

Mengapa Kegiatan Mangrove (Mahasiswa), Minim Dukungan?

Semarang - KeSEMaTBLOG. Setidaknya itulah yang sekarang ini mulai kami rasakan, setelah lima tahun berupaya dengan sekuat tenaga, untuk mengkonservasi kawasan mangrove Teluk Awur Jepara, yang dulunya gersang dan gundul. Semakin sedikitnya dukungan dan semakin banyaknya apriori terhadap kegiatan mangrove kami, (jujur) sempat membuat semangat kami dalam merehabilitasi kawasan mangrove Teluk Awur mulai mengendur. Tentunya, hal ini sangat disayangkan. Sayang memang. Namun dengan sisa-sisa kekuatan kami, kami mencoba untuk terus mengobarkan jiwa dan semangat konservasi di dada setiap anggota kami. Insya Allah, tak akan pernah padam sampai akhir zaman. Amin.

Sejak tahun pertama (2001) kami mensosialisasikan kegiatan-kegiatan mangrove kami (Mangrove REpLaNT, Mangrove Cultivation, Mangrove Movie dan lain-lain) ke masyarakat, tak banyak dukungan (apalagi pujian) yang kami dapatkan. Walaupun demikian, hal ini tak membuat hati kami menciut bahkan semakin bersemangat karena bibit-bibit mangrove kami berhasil tumbuh besar dan lebat, di pesisir Pantai Teluk Awur Jepara. Hal inilah yang membuat semangat kami terus berkobar untuk terus bekerja demi mangrove.

Alhamdulillah, walaupun hanya kurang lebih satu hektar, arboretum kami yang dulunya gundul, kini telah menjelma menjadi hutan mangrove kecil yang kondusif bagi kehidupan flora dan fauna mangrove. Burung kuntul yang lima tahun lalu seolah hilang di Teluk Awur, kini mulai terlihat lagi di arboretum kami.

Namun sayang, kabar gembira ini tidak dibarengi dengan dukungan dari berbagai pihak. Berulang kali kami mengajukan proposal kerjasama dengan masyarakat, perusahaan, instansi, dan pihak lainnya, namun hanya sedikit saja yang menyetujui dan mau membantu. Ditambah lagi, masyarakat sekitar juga tak terlalu peduli dengan kami. Setiap undangan dan ajakan untuk menkonservasi mangrove secara bersama-sama, selalu saja ditanggapi dengan dingin.

Selanjutnya, sebagian besar dari instansi juga meragukan kinerja kami, karena status kami yang masih mahasiswa. Banyak instansi yang tidak percaya dengan keseriusan kami mengelola mangrove. Padahal selama lima tahun ini, kami telah bekerja untuk mangrove dan berhasil membuktikan bahwa dengan pola manajemen 7P, tingkat kelulushidupan bibit mangrove kami, bisa mencapai 90% lebih.

Setelah berhasil di Teluk Awur, sebenarnya kami ingin mencoba menerapkan 7P ini di tempat lainnya. Namun sayang, karena banyaknya kendala dan keterbatasan kami, sampai akhir Maret 2007, pola manajemen ini belum bisa diujicobakan di luar Teluk Awur. Seperti yang dijelaskan di atas, masih banyaknya instansi yang apriori dengan kami dan enggan bekerja sama adalah salah satu faktor yang menyebabkannya. Memang benar, kami hanyalah organisasi mahasiswa. Namun demikian, mengingat rapor kinerja kami selama lima tahun ini, kami rasa, tak seharusnya mereka bersikap demikian.

Menurut hemat kami, masalah status seharusnya tidaklah terlalu dipersoalkan. Bekerja untuk mangrove tak semestinya mengungkit-ungkit masalah status organisasi. Organisasi mahasiswa, kelompok tani, departemen, dinas, LSM, yayasan, CV atau PT sekalipun, semuanya bisa bekerjasama dan memiliki kedudukan yang sama. Asalkan didapatkan hasil akhir yang maksimal, dan mangrove bisa tumbuh dengan baik, kami kira sudah cukup.

Tak bijak, satu organisasi memandang sebelah mata organisasi lainnya. Setiap organisasi hidup dan berkembang dengan spesialisasinya masing-masing dan “ditakdirkan” untuk bisa saling bekerja sama.

Yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana mengatasi banyaknya proyek penanaman mangrove yang gagal. Dengan bekerja bersama-sama secara lebih arif dan saling menghargai, saya yakin kegagalan proyek-proyek mangrove bisa segera diatasi. Semoga.

No comments:

Post a Comment